Rabu, 15 November 2017

TERTINGGAL (Bag. 5)

"Apa yang terjadi?"

Yang ditanya tidak menjawab. Dia tidak sanggup. Hanya air matanya mengalir tanpa henti.

"Ceritakan padaku ada apa?"

Yang ditanya masih saja diam. Tidak ada satupun kalimat yang keluar dari ujung lidahnya. Pria muda di hadapannya tidak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi.


"Katakan sesuatu padaku, Kai! Kau tidak tuli bukan?"

Kai menatap pria muda di hadapannya dengan wajah yang sulit untuk diartikan sebagai apapun. Matanya merah, dengan kantung mata yang bengkak, bibirnya gemetar dan rambut yang dibiarkan kusut. Penampilan Kai sangat berantakan.

"Ibuku... Ibuku...."

"Katakan apa yang terjadi dengan ibumu?"

"Ibuku yang malang. Ibuku malang." Kai masih saja menangis. Air mata telah membasahi hampir setengah kaosnya.

"Katakan yang jelas, Kai! Katakan dengan benar!"

Tiba-tiba Kai menghentikan tangisnya. Dia bangkit dan mencengkram lengan Jhe dengan kuat. Kai memandang Jhe dengan pandangan lurus, seakan tidak pernah ada kesedihan yang terjadi disana, "Apa kau bisa membantuku, Jhe? Bisakah kau membantuku?"

"Katakan ada apa, Kai?"

"Mereka datang, Jhe. Mereka datang dengan pakaian serba hitam. Mereka memukul ibuku dan membuatnya terluka. Mereka... Mereka... Mereka seperti binatang, Jhe." Pandangan mata Kai nyalang. Dia tidak melihat pria muda di hadapannya. Kai kehilangan fokus.

Jhe menepuk dahi Kai, "Tidur!". Dan seketika gadis muda itu jatuh menimpa tubuhnya. Jhe menangkap tubuh lemah itu dan membawanya pergi.

***
Gadis muda itu telah tidur selama 3 hari karena pengaruh obat. Wajahnya pucat namun terlihat lebih baik dari saat Jhe membawanya ke rumah sakit. Botol infusnya telah diganti kemarin.

Jhe menghabiskan waktu dengan membolak-balik halaman majalah interior edisi lama. Dia memang tidak berniat untuk membacanya. Dia hanya ingin melakukan hal yang terlihat normal jika tiba-tiba ada kunjungan petugas medis.

Pintu ruang rawat sedikit terkuak. Seorang pria kurus dengan kacamata hitam, T-Shirt abu, jaket kulit hitam dan celana jeans, menyelinap ke dalam kamar. Gerakannya sangat lembut dan singkat. Kehadiran pria itu sama sekali tidak mengusir ketenangan Jhe.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Noe, pria kurus itu.

"Dokter memberinya obat tidur untuk 3 hari. Seharusnya malam ini dia sudah siuman," terang Jhe tak acuh.

"Apa dokter mengatakan sesuatu tentang kondisi kejiwaannya?"

Jhe meletakkan majalahnya dan mulai mengalihkan perhatian pada Noe, "Tidak. Mereka belum melakukan pemeriksaan untuk itu. Apa kau tahu sesuatu tentang orang yang diceritakan Kai?"

Noe menarik napas. Pelan melangkah mendekat pada ranjang tempat Kai terbaring, "Aku tidak yakin apakah mereka berasal dari kelompok yang sama atau tidak. Aku masih butuh waktu untuk menyelidikinya."

"Kelompok yang sama?"

Noe mengangguk, "Itulah alasan mengapa aku membutuhkanmu untuk menyelesaikan tugas ini. Aku butuh seseorang yang dapat kupercaya untuk menjaganya, selagi kuselidiki asal mereka yang sebenarnya."

"Siapa mereka sebenarnya, Noe?"

Noe memalingkan wajahnya pada Jhe. Menatap lurus tepat di matanya, "Iblis."

Jhe terperanjat di tempatnya. Seakan menunggu Noe meralat kata-katanya. Tidak yakin dengan apa yang baru ditangkap oleh gendang telinganya. Tapi orang yang diharapkan tetap diam dan kini tengah bergerak ke bibir jendela.

"Apa kau mengerti dengan apa yang tengah terjadi saat ini, Jhe? Kau pasti sedang berpikir keuntungan mereka melakukan ini pada Kai. Mereka membutuhkan orang-orang sepertinya untuk memperbanyak jumlah mereka, Jhe. Orang-orang dengan hati yang lemah dan mudah dipengaruhi. Mereka akan merasa bahwa semua orang yang mereka sayangi telah diserang, merasa akan merasa terus-menerus disakiti, dikucilkan, diasingkan, ditinggalkan." Noe membalikkan tubuhnya menghadap ranjang Kai.

"Tapi dia hanya 'Kai', Noe. Kau pikir apa yang akan dia lakukan jika dia benar-benar dapat dipengaruhi?"

"Kau lihat kan betapa kacau penampilannya sebelum membawanya kesini? Dia bisa jadi lebih buruk dari itu. Dan itu sudah pernah terjadi."

"Kai?"

Noe sengaja mengambil jeda dengan menghela beberapa napas panjang. Dadanya terasa dipiuh-piuh. Kemudian dia mendekati Jhe dan berdiri tepat di hadapannya,  "Kai... Dia pernah membunuh separuh keluarganya."

Jhe terhenyak mendengar kalimat terakhir dari bibir pria kurus itu. Tenggorokannya terasa kering dan menyakitkan saat dia berusaha menelan ludah. Jhe sadar bahwa tugas pertamanya ini tidak akan selesai secepat yang dia perkirakan. (bersambung)

2 komentar:

  1. Penasaran sama cerita selanjutnyaaa mbaaakk. Hihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sabar ya, masih mbolang di Jogja - Semarang ini hehheheh

      Hapus