Senin, 13 November 2017

TERTINGGAL (Bag. 4)

Kai menggigit pulpennya seraya melemparkan pandangan keluar jendela. Tidak yakin dengan hal yang akan ditulis pada buku harian barunya. Cangkir kopinya telah kosong sejak sepuluh menit lalu dan dia belum juga menemukan ide. Otaknya serasa beku.

Perasaan kesal yang luar biasa tiba-tiba menghantam dada Kai. Dia tidak akan sebingung ini jika saja Jhe tidak mengikuti sebuah ide aneh untuk memberinya buku harian. Kai belum mengerti manfaat dari rutinitas menulis buku harian. Dan bahasan tentang mengenali emosi sama sekali tidak dipahami oleh Kai. Mengapa semua itu menjadi penting di mata Jhe?

***
Jhe tengah melempar kerikil yang kesepuluh ketika Noe tiba di tepi sungai. Dia mengenakan jeans, T-Shirt abu-abu terang dan sepatu kets. Dia mengambil tempat duduk di sebuah batu setinggi lebih dari setengah meter.

Jhe tidak berniat berhenti melempar kerikil ke sungai meski menyadari kedatangan Noe. Dia membiarkan keheningan mengambil kesempatan untuk tumbuh di antara mereka. Jhe sadar, kedatangan Noe selalu saja menjadi sebuah petunjuk atau berita, entah baik atau buruk.

"Tidak adakah hal yang dapat kau kerjakan selain mengganggu makhluk lain?" tegur Noe.

"Apa aku pernah mengambil keuntungan dari kemalangan hidup seseorang?" timpal Jhe.

Noe mengembuskan napas lelah. Selama beberapa waktu, dia tertarik memperhatikan tingkah laku Jhe. Pria muda dengan sikap sembrono, terkesan tak acuh dan kadang temperamental.

Noe ingat pertemuan mereka di pelataran gedung bioskop. Pertemuan dengan seorang pria malang yang kebingungan. Kadang terlintas perasaan ragu pada keputusannya membawa Jhe pada lingkaran takdirnya. Bahwa apakah yang dia lakukan adalah sebuah keputusan yang benar atau justru benar-benar salah?

"Apa lagi sekarang?" tanya Jhe pada akhirnya.

"Tidak ada. Dia masih belum menulis." Noe mengambil kaca mata hitam dari saku celana lalu merebahkan tubuhnya di batu.

"Ck. Apa dia tidak bisa menulis sesuatu? Apa benar-benar sesulit itu?" gerutu Jhe. "Berapa lama lagi waktu yang tersisa?" sambung Jhe.

Noe melirik arloji di tangan kirinya, "Kupikir masih cukup untuk sekadar memperbaiki kesalahanmu. Oh maaf, maksudku, kesalahan-kesalahanmu dulu."

Jhe menatap Noe dengan sengit, "Bahkan Tuhan tidak pernah mengungkit masa lalu seseorang. Kurasa dulu kau salah masuk antrian."

Noe bangkit dari posisinya seraya tertawa,  "Santailah sedikit, Jhe. Kita teman, kan? Aku agak tidak ingat kapan terakhir kita bercanda."

"Kurasa itu sama sekali tidak perlu. Lagi pula setelah masalah ini selesai, kita tidak akan  bertemu lagi."

"Kau benar-benar ingin kita..?"

"Kebanyakan masa lalu rasanya tidak enak. Akan lebih baik kalau kita memiliki sedikit saja kenangan. Kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, aku pergi."

"Jhe..."

Jhe sudah berada sekitar sepuluh langkah saat Noe memanggil namanya. Jhe membalikkan badan dengan malas, "Apa?"

"Apa ada sebuah cara agar kita bisa mulai berteman?" tanya Noe tiba-tiba.

Noe berhasil mengambil seluruh perhatian Jhe. Lawan bicaranya itu melempar pandangan tidak mengerti.

"Aku telah banyak berganti rekan dalam menjalankan tugas tapi tak satu pun dari mereka yang benar-benar menjadi temanku. Apa kita bisa mengubah itu, Jhe?" tanya Noe terdengar penuh harap.
Jhe menarik napas. Dadanya sesak mendengar sebuah pengakuan yang belum dari pria yang paling tidak disukainya, "Berhentilah merasa penting. Kita hanya perpanjangan tangan Tuhan. Jangan berpikir untuk menjadi kepala." Jhe meninggalkan tepi sungai setelah mengucapkan kegundahan yang tersimpan lama di hatinya.

Sepeninggal Jhe, Noe sengaja masih duduk di tempatnya. Sehelai daun bambu tua jatuh dan terbawa arus sungai. Noe sadar, kadang kesendirian terasa lebih pahit dari sebuah kesedihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar