Senin, 20 November 2017

TERTINGGAL (Bag. 6)

Malam tengah merambat naik ketika Kai beranjak siuman. Jhe melemparkan majalah di tangannya ke meja, buru-buru mendekati ranjang tempat gadis itu terbaring. Wajah pucat Kai menyapanya seketika.

"Kai, kau bisa mendengarku?" tanya Jhe seraya menggenggam tangan Kai.

"Jhe?"


"Aku disini. Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya pemuda itu lagi.

"Pusing. Kepalaku sakit," jawab Kai lirih seraya memegang keningnya.

Dua orang petugas medis memasuki ruang rawat tak lama setelah Jhe menekan tombol merah di samping ranjang. Jhe memperhatikan gerakan mereka yang di matanya terlihat seperti tarian berirama cepat namun tetap harmonis. Setelah menulis sesuatu pada lembar laporan kondisi Kai, seorang petugas medis menyuntikkan sesuatu lagi ke selang infus.

"Aku sudah memberinya obat sakit kepala, dia akan kembali tidur dalam sepuluh menit. Besok kau sudah bisa membawa Nona Kai pulang," ujar seorang petugas medis. Jhe tersenyum seraya mengucapkan terima kasih mendengar penjelasan tersebut.

Setelah kepergian petugas medis, perhatian Jhe kembali pada Kai yang kini sudah terlelap. Jhe duduk di tepi ranjang, dadanya terasa sesak. Dia mengambil napas panjang beberapa kali. Ruang sunyi itu tetiba disapa embusan angin dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka.

"Bagaimana keadaannya?" tanya suara berat seorang laki-laki di belakang kepala Jhe, Noe.

"Dokter sudah membolehkannya pulang besok. Mungkin kondisinya lebih baik dari yang kau katakan kemarin." ujar Jhe tanpa memalingkan pandangannya. "Ada perkembangan tentang kelompok yang diceritakan Kai?" tanya Jhe lagi.

"Ya..."

Jhe memalingkan wajahnya pada Noe, "Lalu?"

Noe terlihat enggan menjawab namun pandangan mata Jhe terus menuntutnya. Sepuluh menit kemudian akhirnya Noe menjawab, "Bagaimana kalau aku membunuhnya?"

Mata Jhe membulat. Rasa terkejutnya hampir saja membuat dia melompat dan menerjang pria kurus di hadapannya. Jhe menahan diri.

"Apa kau sudah gila? Setelah semua yang kulakukan untuknya, sekarang kau ingin membunuh gadis ini? Kau benar-benar tidak punya hati," sembur Jhe.

"Jika aku membunuhnya sekarang, dia tidak akan punya kesempatan untuk menjadi pengikut iblis. Semua akan kembali normal," terang Noe.

"Normal katamu? Apa memiliki niat membunuh bisa dikatakan normal? Dasar tidak punya hati!"

"Apa kau memiliki saran yang lebih baik dariku?"

"Kau telah mendapat tugas. Aku yakin, Dia sudah memperhitungkan kemampuanmu. Tapi mengapa kau justru ingin menyerah? Kau yang memilihku. Apa kau juga tidak percaya dengan kemampuanku?" tanya Jhe, masih berusaha menahan gejolak ego di dalam dadanya.

Noe menarik napas, memilih tidak menjawab. Dia melemparkan pandangan keluar jendela, menatap langit yang makin terlihat hitam pekat. Jhe menatapnya dengan pandangan menyelidik.

"Jangan katakan kau jatuh cinta padanya. Apa dia menolakmu?"

Pertanyaan Jhe mampu menarik perhatian Noe kembali ke ruang rawat yang sunyi itu. Pertanyaan yang sama sekali tak dipikirkannya. Noe memilih diam.

"Penghianat," Jhe mendengus, "Kau pantasnya malu dengan ide gila itu."

"Aku memang menyayanginya. Tapi bukan karena alasan seperti yang kau tuduhan tadi, aku ingin membunuhnya."

Jhe terlihat tidak mengerti dengan kalimat Noe, "Lalu?"

Noe menarik napas, "Ini bukan sekadar soal cinta, Jhe. Aku hanya takut bahwa kita berdua tidak cukup kuat untuk mempertahankan Kai tetap hidup. Aku tidak rela gadis itu menjadi seorang Pengikut."

Jhe merasa keseimbangan tubuhnya sedikit menghilang setelah mendengar penjelasan Noe. Pria kurus itu menghadapkan dia pada sebuah kenyataan yang baru disadarinya: bahwa jaminan akan keselamatan mereka bertiga bisa jadi memang tidak pernah ada. (bersambung)

2 komentar:

  1. Wa, konfilknya kok kayake klimaks banget ya. Jadi penasaran dengan cerita selanjutnya nih

    BalasHapus