Kamis, 23 November 2017

TERTINGGAL (Bag. 7)

Malam terasa mencekik. Di kursinya, Jhe duduk dengan gelisah. Kematian terasa mendekat terlalu cepat, sedang masa lalunya tengah sibuk menyusup ke dalam kepalanya. Jhe ingin berteriak. Dadanya seakan disusupi ribuan potongan besi.

Berkali-kali dia berpikir tentang hidupnya sendiri. Waktu-waktu yang telah dilaluinya sendiri. Keputusan yang dia ambil hingga pertemuan paling tak diharapkan dengan Noe, pria kurus yang sebisa mungkin ingin dihindarinya. Dan pertemuannya dengan Kai.


Dia melirik gadis yang tengah terbaring di ranjang. Botol infusnya masih tersisa setengah. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih segar dibanding saat dia membawanya ke rumah sakit.

Jhe menarik napas. Dia benar-benar baru mengerti bahwa keberadaannya di sini adalah sesuatu yang serius. Apapun yang dia pikirkan sekarang, semuanya hanya berujung pada sebuah kesimpulan : kematian.

***

Siang terasa lengang bersama suara arus air. Sesekali, terdengar dedaun menggerisik. Seorang pria kurus dengan sweater dan celana hitam berdiri di tepi sungai. Kaca mata hitam tergantung di hidungnya.

Sudah sepuluh menit dia, Noe, di sana. Diam tanpa beranjak. Dengan sabar, menunggu kedatangan seseorang. Alur pikirnya tengah berlari ke mana-mana. Mengingat lagi bagaimana dia bisa sampai pada detik ini. Sebuah keputusan besar yang mengubah hidupnya.

"Mengapa kau ingin menemuiku?" tanya Noe ketika seorang pria muda mendekati tempatnya.

Seorang pria muda berdiri dua langkah di samping belakang Noe. Dia mengenakan celana jeans dan T-Shirt putih dengan kerah berbentuk 'V'. Jhe, berdehem sebelum menjawab pertanyaan Noe, "Aku..."

"Aku mengerti jika kau memutuskan mundur dari tugas ini. Kesalahanku adalah tidak bertanya lebih dulu padamu. Semoga kau mendapat kesempatan lain untuk diampuni," ujar Noe panjang lebar.

Jhe berdiri di tempatnya dengan gamang. Keyakinannnya mulai goyah. Keputusan meninggalkan Noe berarti juga meninggalkan Kai. Secara perlahan, dadanya digerayangi rasa nyeri.

"Noe..."

Noe membalikkan tubuhnya, menatap lurus pada pria muda di depannya, "Terakhir kita bicara, aku menyarankan untuk membunuh gadis itu. Kau boleh merasa tenang, Jhe. Aku tidak akan melakukannya. Aku putuskan untuk mencoba sampai akhir."

"Apa kau menyesal, Noe?"

Tubuh Noe membungkuk karena tertawa saat mendengar pertanyaan lawan bicaranya. Selama beberapa menit, Noe larut dalam kelucuan menurut pemahamannya. Dia menarik napas lelah saat selesai tertawa, "Apa kau menyesal, Jhe?" Noe membalikkan pertanyaan itu pada pria muda di hadapannya.

Hati Jhe terasa mencelos. Dia ingat betul bagaimana kalimatnya melawan saran yang diajukan Noe kala itu. Dan kini, keputusannya untuk mundur seakan memukulnya tepat di dada. Sebulan air mata, terasa mengembang di sudut matanya yang tipis.

Jhe menarik napas dari dadanya yang bergetar, "Noe, tolong maafkan aku."

Noe tersenyum, "Aku berjanji, kami akan tetap hidup."

***

Kai berlari menuju rumahnya dari ujung jalan. Tubuhnya terasa seringan permen kapas. Di wajahnya yang memerah, seulas senyum tak berhenti mengembang.

"Aku pulang!" Kai menjerit saat dia masuk ke dalam rumah. Ibunya yang telah duduk di meja makan berdiri seketika.

"Dasar anak nakal. Kau pergi selama empat hari." Ibu Kai memeluk anaknya setelah mencubit pipi anak gadisnya.

"Maafkan aku, Bu. Ada tugas sekolah yang harus dikerjakan bersama dengan teman dan ponselku bermasalah," jelas Kai dengan suara manja.

Ibu Kai mengajak anak gadisnya ke meja makan. Jarum jam telah menegaskan datangnya waktu makan siang. Kai tidak sadar bahwa ingatannya empat hari belakangan telah dihilangkan. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar