Sabtu, 11 November 2017

TERTINGGAL (Bag. 2)


Sore menempel di punggungku dengan malas.  Di ujung jalan,  pintu rumah telah menunggu kepulanganku dari siang yang melelahkan.

"Kau sudah pulang," sapa ibuku berbasa-basi saat aku menutup pintu dengan ujung jari kaki. Aku hanya mengangguk alih-alih menjawab kalimatnya. Dengan tubuh lelah, kujatuhkan tubuh di sofa.

"Seseorang mengirimu paket. Ibu meletakkannya di tempat tidurmu," tambah ibu.


"Paket apa?" tanyaku.

Ibuku melontarkan pandangan bertanya, "Apa kau benar-benar ingin ibu membuka paket itu?"

Aku mengangkat tangan, meminta maaf, lalu bangkit dan segera menuju kamar. Siapa kira-kira seseorang mengirimiku paket?

Sebuah kotak berwarna biru tua dengan tali berbahan karung goni menyambut mataku dari tengah tempat tidur. Dengan terburu aku mendekat dan segera membukanya. Di dalamnya, terselip sebuah buku agenda dengan sampul dari kulit sintetis berwarna merah dan ukiran embos berbentuk daun merambat di sekelilingnya. Tak ada kartu ucapan atau nama pengirim. Benarkah paket ini memang dikirim untukku?

Aku kembali pada ibu dengan membawa kotak biru beserta isinya. Aku penasaran dengan asal usul paket tersebut.

"Bu, benar ini paketnya?" tanyaku seraya menyodorkan paket. Ibuku mengangguk.

"Ibu tahu siapa yang mengirimnya? Tidak ada kartu ucapan atau apapun," tambahku.

Ibu mengangkat bahu, "Mungkin seseorang itu ingin melihatmu belajar menulis."

Aku mendengus lalu segera kembali menyelinap di dalam kamar. Mungkin paket itu salah alamat. Tak ada salahnya jika kubantu simpan untuk sementara.

***

Dua orang pemuda dengan rambut gondrong dan disisir acak duduk menghadapi meja dengan beberapa gelas kotor dan box kosong bekas pizza. Seorang pemuda menggunakan jaket berbahan dasar kulit berwarna hitam dan celana jeans. Sedangkan pemuda lainnya mengenakan kemeja putih polos sepanjang siku dan celana panjang hitam. Wajah mereka tampak kusut dengan sorot mata mengantuk.

"Apa Kai sudah menerimanya?" tanya pemuda yang mengenakan jaket kulit.

"Kalau kau tidak percaya padaku, sebaiknya kau antarkan sendiri padanya," timpal pemuda yang lain. Kalimatnya terdengar seperti orang yang hampir kehilangan kesadarannya.

"Apa kau meninggalkan petunjuk atau menulis sebuah pesan supaya dia mengerti maksud dari hadiahnya itu?" tanya pemuda dengan jaket kulit lagi.

"Dia bukan gadis bodoh, Noe. Dia pasti mengerti apa guna buku itu."

Noe menggeleng, "Dia bisa saja mengira bahwa paket itu salah alamat."

Jhe mengangkat kepalanya yang sudah rebah di atas meja sejak lima menit sebelumnya lalu melayangkan pandang pada Noe seakan mereka sudah bicara serius sejak tadi.

"Kau mau bilang bahwa aku melakukannya dengan ceroboh, kan? Katakan saja. Kenapa sih kau tidak pernah menghargai usahaku?"

"Aku hanya mengingatkan."

Brak!


Jhe bangkit dari duduknya. Urat wajahnya tampak menegang, "Dasar kaku!". Jhe memilih pergi meninggalkan lawan bicaranya. Cahaya sore tumpah ruah di sepanjang jalan dan sudut kota, membuat segala yang disentuhnya berwarna cantik keemasan dan mempesona.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar