Minggu, 10 September 2017

Cerpen: KAUSA



Apalagi yang bisa kulakukan selain terpaku? Menjumpai wajahnya membuat sendi kakiku serasa beku. Tapi menghindar tentu saja bukan sebuah pilihan tepat. Selain jarak kami yang tidak terlalu jauh, aku yakin matanya telah menangkap sosokku di ujung jalan. Jadi satu-satunya pilihan adalah pasrah dan menunggunya mendekat.


Di ujung jalan, dia melempar senyum ke arahku. Entah kepada siapa. Karena sungguh tak pantas jika aku masih merasa bahwa dia tersenyum kepadaku. Bahkan satu-satunya hal paling baik yang harus kulakukan adalah memilih untuk menjauh darinya. Sejauh mungkin yang aku bisa.

Aku sengaja melambatkan langkah. Bayangan pohon singkong karet melindungi tubuhku dari sinar matahari siang yang seakan tumpah ruah tanpa sisa. Ah, tiba-tiba saja jalan berbatu ini terasa menyakiti hatiku tiap kali langkah membuat jarak kami semakin dekat.

“Ghi..”

Aku mengangguk kecil demi menjawab sapaannya. Seorang perempuan muda berusia awal dua puluhan berdiri di hadapanku. Wajahnya penuh dengan senyum yang kini enggan kuartikan sebagai apapun selain dari sebuah kesopanan.

"Jadi benar kabar tentang kepulanganmu. Aku hampir tidak percaya jika kita bisa bertemu lagi.” Perempuan muda di hadapanku terseyum lebih lebar lagi. Aku mengangguk.

“Maafkan aku tapi sepertinya aku harus buru-buru pergi. Aku sudah agak sedikit terlambat,” ujarku seraya berlama-lama menengok jam yang melingkar tangan kananku.

Perempuan di hadapanku mengangguk. Alih-alih mengucapkan kalimat perpisahan, aku melepas sekilas senyum dan berlalu menginggalkannya di belakang punggungku. Dan setelah beberapa lama aku menyadari satu hal: meski samar, gurat kecewa terlukis di wajahnya yang dulu pernah kurindukan.

***

Aku baru saja melipat sajadah dan menyampirkannya di punggung kursi di ujung tempat tidur ketika pintu kamarku terkuak. Seraut wajah perempuan dengan bentuk daun sirih muncul di antaranya secara tiba-tiba dan mengagetkan jantungku. Dua detik selanjutnya dia, Sha, kakak perempuanku, telah menyelinap sempurna ke dalam kamar. Di belakangnya, pintu kamar sudah tertutup dengan rapat.

“Kudengar seseorang melihat kalian bertemu,” ujar Sha seraya bersandar di rak buku, menatapku lurus. Aku duduk di tepi tempat tidur.

“Hanya pertemuan tak disengaja. Tak lebih dari dua menit,” jawabku sekadarnya.

Sha seperti tidak puas dengan jawabanku, “Kalimatmu terdengar seperti angin Kutub Selatan.”

“Memangnya apa kau harapkan dariku?”

“Bukankah kau bisa menyapanya dengan sopan, Tuan? Berbasa-basilah dengannya sedikit.” Sha melipat tangan di dadanya.

Aku menghela napas, memandangnya dengan malas, “Dan bagaimana dengan pandangan orang lain terhadapku? Apa kau sudah mempertimbangkan soal itu?”

“Memangnya apa yang kau lakukan? Kawin lari? Dasar kaku!” sembur Sha.

"Sudahlah, Kak, kenapa kau masih saja meributkan hal ini? Bukankah semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan,” jawabku seraya merebahkan diri. Bersiap tidur.

“Dulu kau begitu mencintai perempuan muda itu, ‘kan? Aku tidak menyangka kau begitu mudah lupa.”

"Apa kau begitu yakin dengan tebakanmu? Dua tahun kepergianku dari desa ini bahkan tidak bisa menghapus kenangan apapun yang berkaitan dengannya,” pandanganku menerawang ke langit-langit kamar.

“Jika saja kau mau sedikit membuka diri...”

“Tapi gadis itu lebih memilih berkasih dari sebuah hubungan tidak sah. Bukankah itu sudah cukup membuat kita berhenti meributkan masalah ini terus menerus?”

“Katakan bahwa kau masih mencintainya.”

Aku menatap Sha yang kini bersandar di rak buku dengan bahu kirinya, “Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan, Kak?”

"Gadis itu hanya korban dari kesombongan laki-laki yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain tapi begitu pengecut untuk datang dan meminangnya. Seharusnya kau malu.” Sha keluar dari kamarku diiringi bantingan pintu di belakangnya.

Aku menghela napas. Langit-langit kamar seakan dekat dan mengimpit, membuat dadaku terasa sesak. Sebulir air mata meluncur turun dari sudut mataku.

“Itulah alasan mengapa aku kembali ke desa ini. Tentu saja, aku masih mencintainya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar