Senin, 10 Juli 2017

Mengembalikan KesegalaanNya



          Ada sebuah kalimat yang sangat tidak asing bagi kita, baik di telinga maupun di mata, baik terdengar maupun terbaca. Sebuah kalimat yang dalam pikiran, (seakan –akan) kita yakini. Entah sadar atau tidak, tak jarang kita ikut menggemakannya dalam keseharian.  Tapi benarkah bahwa kita benar-benar meyakininya?

            Dalam pelajaran ilmu agama di sekolah, dalam kalimat yang sering dilontarkan orang-orang tua, kita tengah diarahkan untuk meyakini kalimat tersebut. Kalimat yang seolah-seolah membawa kita pada satu titik, yang lebih tinggi dan lebih baik. Sebuah kalimat pamungkas dari segala kegelisahan yang menghimpit dalam kehidupan. Sebuah kalimat yang kadang bisa juga menjadi sebuah jalan pelarian.


            Tuhan Yang Maha Kuasa, Sang Pemilik Segala Semesta.

            Tapi benarkah demikian?

            Mari kita berhenti sejenak. Tepikan semua pikiran, lepaskan jeratan beban lalu perlahan, bernapaslah dalam-dalam. Coba kita reungkan, pernahkah kita menafikan kalimat tersebut? Atau benarkah kita telah sungguh-sungguh ikhlas untuk senantiasa mengamininya? Atau jangan-jangan kita tengah terpedaya oleh kemegahan kata-kata dan justru hanya mem-beo-kannya dalam egoisme semata?

            Kita tak pernah bosan menggemakan kalimat bernuansa religius. Lewat teknologi dengan mudah kita dapat menemukan satu dua ayat, beserta terjemahannya, yang kita butuhkan untuk keperluan dalam perbincangan atau tulisan. Namun pernahkah kita memikirkan untuk tidak melakukannya? Pernahkah kita memikirkan untuk tetap menyimpannya di hati kita sendiri? Pernahkah kita memikirkan apakah Tuhan benar-benar ingin kita melakukannya?

            Siapakah Tuhan yang tengah kita yakini sekarang? Benarkah kita telah sungguh-sungguh menerima segala kehendak Tuhan ataukah kita justru tengah memaksaNya untuk menerima Tuhan dalam diri kita?

            Betapa lama kita duduk dalam doa. Menumpahkan daftar keinginan yang seolah tak berkesudah. Dimana batas akan mimpi dan harapan melimpah ruah di atas tipisnya kain sajadah. Saat permintaan demi permintaan terlisan tanpa jeda.

            Tuhan memang mengajarkan kita untuk menghamba, mengiba, melemah, dan menghina dina di hadapanNya. Namun mengapa disaat bersamaan kita justru seolah memaksaNya untuk mendahulukan keinginan kita dan mengesampingkan kesegalaanNya?

            Bagaimana kita bisa bersikap seolah Dia adalah seorang pengusaha? Dimana kita akan menyodorkan setumpuk proposal keinginan untuk ditandatangani dengan perjanjian sederet imbalan: ibadah yang lebih giat atau jumlah sedekah yang lebih banyak. Atau jangan-jangan kita sedang memposisikan Tuhan menyerupai bank? Bagaimana kita bisa menganggap bahwa amalan yang dilakukan seumpama nilai saham yang terus berkembang dan dapat diambil di akhir kehidupan? Apakah kita menganggap bahwa Tuhan tak lebih dari sebuah sistem perdagangan? Bagaimana kita bisa melakukan hitung menghitung nilai amalan sedangkan napas dalam dua detik kedepan saja tak bisa dipastikan ada di tangan kita?

Lalu apakah kita tidak boleh meminta? Bukankah Tuhan yang memerintahkan agar kita berdoa?

            “Dalam doa, mintalah yang terbaik bukan hanya untuk dunia namun juga untuk akhirat. Rabbana atina fiddunya hasanah: Ya, Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Aamiin.” – KH. Luqman Hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar