Ada
sebuah kalimat yang sangat tidak asing bagi kita, baik di telinga maupun di
mata, baik terdengar maupun terbaca. Sebuah kalimat yang dalam pikiran, (seakan
–akan) kita yakini. Entah sadar atau tidak, tak jarang kita ikut menggemakannya
dalam keseharian. Tapi benarkah bahwa
kita benar-benar meyakininya?
Dalam
pelajaran ilmu agama di sekolah, dalam kalimat yang sering dilontarkan
orang-orang tua, kita tengah diarahkan untuk meyakini kalimat tersebut. Kalimat
yang seolah-seolah membawa kita pada satu titik, yang lebih tinggi dan lebih
baik. Sebuah kalimat pamungkas dari segala kegelisahan yang menghimpit dalam
kehidupan. Sebuah kalimat yang kadang bisa juga menjadi sebuah jalan pelarian.
“Tuhan
Yang Maha Kuasa, Sang Pemilik Segala Semesta.”
Tapi
benarkah demikian?
Mari
kita berhenti sejenak. Tepikan semua pikiran, lepaskan jeratan beban lalu perlahan,
bernapaslah dalam-dalam. Coba kita reungkan, pernahkah kita menafikan kalimat
tersebut? Atau benarkah kita telah sungguh-sungguh ikhlas untuk senantiasa mengamininya?
Atau jangan-jangan kita tengah terpedaya oleh kemegahan kata-kata dan justru
hanya mem-beo-kannya dalam egoisme semata?
Kita
tak pernah bosan menggemakan kalimat bernuansa religius. Lewat teknologi dengan
mudah kita dapat menemukan satu dua ayat, beserta terjemahannya, yang kita
butuhkan untuk keperluan dalam perbincangan atau tulisan. Namun pernahkah kita
memikirkan untuk tidak melakukannya? Pernahkah kita memikirkan untuk tetap
menyimpannya di hati kita sendiri? Pernahkah kita memikirkan apakah Tuhan
benar-benar ingin kita melakukannya?
Siapakah
Tuhan yang tengah kita yakini sekarang? Benarkah kita telah sungguh-sungguh menerima
segala kehendak Tuhan ataukah kita justru tengah memaksaNya untuk menerima
Tuhan dalam diri kita?
Betapa
lama kita duduk dalam doa. Menumpahkan daftar keinginan yang seolah tak
berkesudah. Dimana batas akan mimpi dan harapan melimpah ruah di atas tipisnya
kain sajadah. Saat permintaan demi permintaan terlisan tanpa jeda.
Tuhan
memang mengajarkan kita untuk menghamba, mengiba, melemah, dan menghina dina di
hadapanNya. Namun mengapa disaat bersamaan kita justru seolah memaksaNya untuk
mendahulukan keinginan kita dan mengesampingkan kesegalaanNya?
Bagaimana
kita bisa bersikap seolah Dia adalah seorang pengusaha? Dimana kita akan menyodorkan
setumpuk proposal keinginan untuk ditandatangani dengan perjanjian sederet
imbalan: ibadah yang lebih giat atau jumlah sedekah yang lebih banyak. Atau
jangan-jangan kita sedang memposisikan Tuhan menyerupai bank? Bagaimana kita
bisa menganggap bahwa amalan yang dilakukan seumpama nilai saham yang terus
berkembang dan dapat diambil di akhir kehidupan? Apakah kita menganggap bahwa
Tuhan tak lebih dari sebuah sistem perdagangan? Bagaimana kita bisa melakukan
hitung menghitung nilai amalan sedangkan napas dalam dua detik kedepan saja tak
bisa dipastikan ada di tangan kita?
Lalu apakah
kita tidak boleh meminta? Bukankah Tuhan yang memerintahkan agar kita berdoa?
“Dalam
doa, mintalah yang terbaik bukan hanya untuk dunia namun juga untuk akhirat.
Rabbana atina fiddunya hasanah: Ya, Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat. Aamiin.” – KH. Luqman Hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar