Jumat, 23 Juni 2017

Yang Mana?

Beberapa waktu yang lalu seorang teman pernah bertanya, "Ndah, lo kan berjilbab koq benci sama ulama sih dan malah belain si owe-owe itu?"

Di lain kesempatan ada lagi yang berkata, "Saya ini cinta ulama, Ndah. Tiap ada berita soal ulama langsung saya share. Inget lho, di akhirat kita akan bersama dengan yang kita cintai."

Lalu ada juga komentar lain yang datang, "Dasar kafir, kerudung kedok, setan!"


Hahaha. Lucu!

Miris sebenarnya mengingat komentar dan pendapat tersebut justru datang dari teman-teman yang berpenampilan islami, sering posting status religius di medsos dan dengan bangga menginfokan bahwa dirinya tergabung di salah satu ormas besar islam. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang se-aqidah dengan saya, menyembah Tuhan dan mengakui nabi yang sama.

Baiklah cukup cap-cip-cup-nya ya. Ini penjelasan menurut pemahaman saya:

Bagaimana orang tua bisa mengajarkan saya beribadah: membaca Alquran, wudhu, salat, berinteraksi dengan sesama jika kami (saya) membenci ulama? Dulu sekali, saya pernah mengalami (saya menyebutnya) kebingungan agama. Ketakutan atas jalan hidup yang saya pilih. Saya mendatangi banyak majelis dan banyak ulama, lalu mendirikan salat istikharah guna menentukan arah yang harus saya pilih. Dari sana, saya memilih Gus Dur, Kyai Quraish, Gus Mus, Gus Nadir, Kyai Imron, Kyai Luqman, Mbah Moen, dan ulama yang kebanyakan dari NU. Jadi, apakah saya membenci ulama? Ah, yang benar saja!

Don't judge a book by it's cover. Jika seorang ulama merasa berhak mengatakan apapun seperti ujaran kebencian, kalimat hinaan atau yang bernada merendahkan golongan lain, tentu saja ini bukan termasuk pada salah satu syarat sebagai ulama yang akan saya ikuti. Bagaimana bisa seorang ulama yang seharusnya mengajarkan dan mengajak pada kebaikan dan mendekatkan diri pada Tuhan justru mengajarkan dan mengajak kita untuk berbuat hal yang tidak baik? Apakah dia benar-benar seorang ulama? Atau jangan-jangan dia ubaru? ehh

Menurut saya pula, seseorang sepatutnya dinilai berdasarkan kinerja, prestasi, kualitas diri, bukan sekedar embel-embel gelar. Akan jahat sekali rasanya jika misalnya saya yang seorang guru memberi nilai 100 pada seorang anak dari pegawai pemerintah padahal dia hanya bisa mengerjakan setengah dari soal ujian, sementara seorang anak petani yang buta huruf saya beri nilai 70 padahal dia berhasil mengerjakan semua soal dengan benar. Ini artinya saya menilai mereka bukan dari kualitas pribadi tapi dari gelar: anak pegawai pemerintah dan anak petani buta huruf.

Dapet berita? Periksa ulang sebelum menyebarkannya. Jangan jadi sapi yang hanya mengikuti arus. Malu sama ponsel yang udah smartphone sementara logika berpikirmu masih somecome (kadang datang, kadang hilang hahaha).

Saya pake jilbab karena menurut perintah Tuhan. Ente mau protes? Ngomong sama Tuhan dulu gih.

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar