Ahad
(25/11) bertempat di Galeri Kertas (Studio Hanafi), Cinere, Depok, 7 Perupa Muda
menampilkan karya dalam sebuah pameran bertajuk XYCLO (syaiklo – red). Ialah Amiko, Asmoadji, Jinggam, M. Raka
Septianto, Ivan Oktavian, Kevin Nathaniel, dan Gilang Mustofa, di bawah kurator
perupa senior Ugeng T. Moetidjo. Selama 4 jam acara ini dipandu oleh Milliyya, seorang
beauty blogger yang juga
merupakan Sekretaris PSI Jakarta.
|
Milliyya (Dok. Ibra Aghari) |
Dalam
siaran pers, Ugeng mengatakan bahwa pameran XYCLO merupakan siklus sebuah peran
dalam waktu singkat – hanya 10 hari masa pameran – atas modus pemanfaatan ruang
(galeri) dari visualisasi yang tampil sebelumnya pada tema Gambaur. Ugeng ingin
menampilkan sebuah hasil karya dengan imajinasi yang relatif bebas dari sebuah
beban atas ragam definisi seni rupa. Menurutnya definisi seni seharusnya tanpa
batas, tak terkurung dalam pembicaraan atas sesuatu yang diproduksi dan
terlanjur disebut seni.
Fokus
pameran 7 Perupa Muda dalam XYCLO adalah mengeksekusi genus lingkup fragmenter
dari kultur bersama, bukan hanya self potrait senimannya. Dan di sini
mereka mencoba merepresentasikan seni sebagai suatu kesenangan atas imajinasi
yang apa adanya. Ugeng juga menyebut bahwa meski pada era sebelumnya seni merupakan
bagian dari survival bergaya eksistensial, namun pada masa sekarang seni dapat
berupa keriangan dalam perayaan komunal. Pada kalimat akhir, Ugeng juga
mengatakan bahwa seni bukanlah instrumen melainkan elemen. Sehingga cara menatapnya
pun harus diubah, digeser dari yang nilai ke fenomen.
Amiiko – An Alterego Minded
|
Diorama An Alterego (Gambar mungkin memiliki hak cipta) |
|
Dok. Ibra Aghari |
|
Amiiko (Dok. Ibra Aghari) |
Mengambil konsep kehidupan sehari-hari,
dalam karya dioramanya Miiko menampilkan sisi lain dari manusia, dimana
keinginan untuk menjalani hidup dengan santai, sederhana, lucu, dan membahagiakan,
juga diikuti oleh keinginan untuk mencapai target-target yang telah ditentukan.
Dan tentu saja, target-target tersebut tak bisa diraih dalam hidup yang
dijalani dengan santai.
Ivan Oktavian – Rekontruksi
Sentimen
|
Dok. Ibra Aghari |
|
Ivan (Dok. Ibra Aghari) |
Melalui karyanya perupa
muda ini mengisahkan rumah-rumah di Bobojong yang digusur untuk proyek kereta
cepat Bandung – Jakarta. Ivan mencoba menggambarkan bagian-bagian yang hilang
dari rumah setengah hancur yang dia aplikasikan pada lembar-lembar kertas HVS.
Dia juga mengambil beberapa sample dari reruntuhan yang masih tersisa.
Gilang Mustofa – Silang Karya
|
Dok. Ibra Aghari |
Pria asal Cilamaya,
Karawang, ini mencoba mengangkat kisah dari kampung halamannya. Gilang seolah
ingin menceritakan bahwa sebagai seorang perantau, akan ada masa dimana kita menyadari
telah kehilangan sesuatu yang khas dari tanah kelahiran lalu berakhir dalam
sebuah keterasingan.
M. Raka Septianto – Nord
|
Dok. Ibra Aghari |
|
Raka (Dok. Ibra Aghari) |
Karya perupa muda ini
ditampilkan dalam ruang gelap. Bermain dengan layer dan teknik pencahayaan,
Raka mencoba menerjemahkan ketertarikannya atas mitologi Yunani. Sebuah rangkaian
cerita dari 9 dunia yang memiliki kecenderungan masing-masing. Dan jika digali
lebih dalam, hal ini memiliki ketersambungan dengan kondisi dunia yang kita
jalani saat ini.
Jinggam – Koneksi
|
Dok. Ibra Aghari |
|
Jinggam (Dok. Ibra Aghari) |
Perupa muda ini menjelaskan
bahwa karyanya merepresentasikan manusia sebagai makhluk yang unik dan penyendiri,
namun pada satu titik dapat menjalin sebuah hubungan. Dengan media kardus,
Gilang menggabungkan seni visual dan visual maping.
Kevin Nathaniel – Seen Unseen,
Known Unkown
|
Dok. Ibra Aghari |
|
Kevin (Dok. Ibra Aghari) |
Terinspirasi dari dunia
antropologi, perupa muda ini mencoba menceritakan pengalamannya dalam ruang
liminal dan traumatik terhadap pesawat terbang. Menggunakan 180 kertas HVS,
Kevin sempat dilanda frustasi untuk membuat pesawat-pesawat itu dapat seolah-oleh
terbang.
Asmoadji – Kamu yang Mana?
|
Dok. Ibra Aghari |
|
Asmo (Gambar mungkin memiliki hak cipta) |
Karya Asmo ini menganalogikan
keseharian para penumpang kereta yang sering kali memaksakan kehendaknya untuk
sampai ke tujuan. Mereka seringkali tak lagi peduli dengan kondisi sekitar, hal
ini digambarkan dengan ketidakteraturan bentuk-bentuk yang ditampilkan. Asmo
menggunakan media kertas art carton 310 gr, tinta India, bambu yang
dipipihkan, dan lidi (tulang daun kelapa).
“Karya seni tak melulu
harus menceritakan diri seniman sebagai pribadi, namun sudah sewajarnya ia
dapat menjadi bagian dari masyarakat untuk mewakili masalah yang ada,” tutup
Ivan mengakhiri acara pada malam itu.
|
Foto bersama (Dok. Ibra Aghari) |
|
Gambar mungkin memiliki hak cipta |
|
Gambar mungkin memiliki hak cipta |
|
Dok. Ibra Aghari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar