Senin, 26 November 2018

XYCLO : Imajinasi Ruang 7 Perupa Muda, Terbebas dari Beban Definisi Karya Seni

Ahad (25/11) bertempat di Galeri Kertas (Studio Hanafi), Cinere, Depok, 7 Perupa Muda menampilkan karya dalam sebuah pameran bertajuk XYCLO (syaiklo – red).  Ialah Amiko, Asmoadji, Jinggam, M. Raka Septianto, Ivan Oktavian, Kevin Nathaniel, dan Gilang Mustofa, di bawah kurator perupa senior Ugeng T. Moetidjo. Selama 4 jam acara ini dipandu oleh Milliyya, seorang beauty blogger  yang juga merupakan Sekretaris PSI Jakarta.


Milliyya (Dok. Ibra Aghari)


Dalam siaran pers, Ugeng mengatakan bahwa pameran XYCLO merupakan siklus sebuah peran dalam waktu singkat – hanya 10 hari masa pameran – atas modus pemanfaatan ruang (galeri) dari visualisasi yang tampil sebelumnya pada tema Gambaur. Ugeng ingin menampilkan sebuah hasil karya dengan imajinasi yang relatif bebas dari sebuah beban atas ragam definisi seni rupa. Menurutnya definisi seni seharusnya tanpa batas, tak terkurung dalam pembicaraan atas sesuatu yang diproduksi dan terlanjur disebut seni.

Fokus pameran 7 Perupa Muda dalam XYCLO adalah mengeksekusi genus lingkup fragmenter dari kultur bersama, bukan hanya self potrait senimannya. Dan di sini mereka mencoba merepresentasikan seni sebagai suatu kesenangan atas imajinasi yang apa adanya. Ugeng juga menyebut bahwa meski pada era sebelumnya seni merupakan bagian dari survival bergaya eksistensial, namun pada masa sekarang seni dapat berupa keriangan dalam perayaan komunal. Pada kalimat akhir, Ugeng juga mengatakan bahwa seni bukanlah instrumen melainkan elemen. Sehingga cara menatapnya pun harus diubah, digeser dari yang nilai ke fenomen.



Amiiko – An Alterego Minded

Diorama An Alterego (Gambar mungkin memiliki hak cipta)

Dok. Ibra Aghari
Amiiko (Dok. Ibra Aghari)

Mengambil konsep kehidupan sehari-hari, dalam karya dioramanya Miiko menampilkan sisi lain dari manusia, dimana keinginan untuk menjalani hidup dengan santai, sederhana, lucu, dan membahagiakan, juga diikuti oleh keinginan untuk mencapai target-target yang telah ditentukan. Dan tentu saja, target-target tersebut tak bisa diraih dalam hidup yang dijalani dengan santai.


Ivan Oktavian – Rekontruksi Sentimen

Dok. Ibra Aghari
Ivan (Dok. Ibra Aghari)

Melalui karyanya perupa muda ini mengisahkan rumah-rumah di Bobojong yang digusur untuk proyek kereta cepat Bandung – Jakarta. Ivan mencoba menggambarkan bagian-bagian yang hilang dari rumah setengah hancur yang dia aplikasikan pada lembar-lembar kertas HVS. Dia juga mengambil beberapa sample dari reruntuhan yang masih tersisa.


Gilang Mustofa – Silang Karya

Dok. Ibra Aghari

Pria asal Cilamaya, Karawang, ini mencoba mengangkat kisah dari kampung halamannya. Gilang seolah ingin menceritakan bahwa sebagai seorang perantau, akan ada masa dimana kita menyadari telah kehilangan sesuatu yang khas dari tanah kelahiran lalu berakhir dalam sebuah keterasingan.


M. Raka Septianto – Nord

Dok. Ibra Aghari
Raka (Dok. Ibra Aghari)
Karya perupa muda ini ditampilkan dalam ruang gelap. Bermain dengan layer dan teknik pencahayaan, Raka mencoba menerjemahkan ketertarikannya atas mitologi Yunani. Sebuah rangkaian cerita dari 9 dunia yang memiliki kecenderungan masing-masing. Dan jika digali lebih dalam, hal ini memiliki ketersambungan dengan kondisi dunia yang kita jalani saat ini.


Jinggam – Koneksi

Dok. Ibra Aghari
Jinggam (Dok. Ibra Aghari)
Perupa muda ini menjelaskan bahwa karyanya merepresentasikan manusia sebagai makhluk yang unik dan penyendiri, namun pada satu titik dapat menjalin sebuah hubungan. Dengan media kardus, Gilang menggabungkan seni visual dan visual maping.


Kevin Nathaniel – Seen Unseen, Known Unkown

Dok. Ibra Aghari
Kevin (Dok. Ibra Aghari)
Terinspirasi dari dunia antropologi, perupa muda ini mencoba menceritakan pengalamannya dalam ruang liminal dan traumatik terhadap pesawat terbang. Menggunakan 180 kertas HVS, Kevin sempat dilanda frustasi untuk membuat pesawat-pesawat itu dapat seolah-oleh terbang.


Asmoadji – Kamu yang Mana?

Dok. Ibra Aghari
Asmo (Gambar mungkin memiliki hak cipta)
Karya Asmo ini menganalogikan keseharian para penumpang kereta yang sering kali memaksakan kehendaknya untuk sampai ke tujuan. Mereka seringkali tak lagi peduli dengan kondisi sekitar, hal ini digambarkan dengan ketidakteraturan bentuk-bentuk yang ditampilkan. Asmo menggunakan media kertas art carton 310 gr, tinta India, bambu yang dipipihkan, dan lidi (tulang daun kelapa).

“Karya seni tak melulu harus menceritakan diri seniman sebagai pribadi, namun sudah sewajarnya ia dapat menjadi bagian dari masyarakat untuk mewakili masalah yang ada,” tutup Ivan mengakhiri acara pada malam itu.


Foto bersama (Dok. Ibra Aghari)

Gambar mungkin memiliki hak cipta

Gambar mungkin memiliki hak cipta

Dok. Ibra Aghari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar