Malam telah turun sempurna. Udara cukup sejuk untuk tetap berada di luar rumah. Seorang perempuan muda duduk menyandar pada salah satu tiang warung kopi di depan gang. Kepulan asap rokok diantara jemari kecil dan lentik meliuk-liuk bagai tarian sedih dari hatinya yang gelisah.
Matanya berkali-kali melirik layar ponsel yang dibandrol dua ratus ribuan hasil mengumpulkan uang semalaman di sebuah pasar malam. Benda yang kini membuatnya menyesal mengapa merasa perlu membelinya. Perempuan muda itu menarik napas dalam-dalam. Tak ada pesan. Rahangnya menegang, tangannya meremas ponsel di tangannya yang kecil. Apa gunanya benda ini sekarang?
Pemilik warung kopi memandang penuh iba pada perempuan muda di depannya. Sejak sore dia sudah ada disana. Setiap hari, setiap sore, perempuan muda itu duduk di tempat yang sama, bersandar pada tiang yang sama. Sesekali memandangi layar ponselnya. Menunggu pesan, entah dari siapa.
Masih lekat di benak sang pemilik warung, dua tahun yang lalu perempuan muda itu masih berlari sambil tertawa-tawa mengitari desa mengenakan celana pendek bergambar tikus. Rambut hitamnya yang panjang, tebal dan berkilau indah melayang-layang bagai selendang seorang bidadari. Kala itu usianya baru enam belas tahun, namun keelokkan wajahnya adalah gambaran sempurna seorang gadis desa. Keceriannya adalah madu dari setiap permainan dan ketidakhadirannya adalah peredup semangat di semua pembicaraan.
Siapa yang tak kenal perempuan muda itu? Dialah satu-satunya dambaan para pria desa yang setiap minggu kembali pulang dari bekerja. Dan saat seorang pria mendatangi orang tua perempuan muda dan meminangnya, reduplah harapan para pria desa lainnya. Perempuan muda itu mendatangi takdirnya. Menikah.
Entah apa yang terjadi pada perempuan muda itu hingga setahun lalu dia kembali ke desa. Sendirian. Berkelebat ingatan tentang pesta pernikahan mewah yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Dimana setiap orang ikut berbahagia untuknya. Lalu hari dimana setiap orang melambaikan tangannya mengantar kepindahan perempuan muda ke kota bersama suami barunya. Semua kenangan itu berlomba-lomba memenuhi ingatan sang pemilik warung.
"Non!" sebuah suara berat menyerukan nama perempuan muda di warung kopi.
Seorang pria gendut dengan kumis hitam lebat berusia lebih dari empat puluh tahun melambaikan tangannya pada perempuan muda. Seorang laki-laki, entah siapa, berdiri tak jauh darinya. Perempuan muda itu tersenyum seraya membalas lambaian. Jarinya dengan sigap melempar batang rokok yang masih setengah lalu meneguk habis minumannya. Setengah berlari dia menuju laki-laki gendut dan seorang teman yang berdiri tak jauh darinya. Malam ini dia tidak sendiri.
Matanya berkali-kali melirik layar ponsel yang dibandrol dua ratus ribuan hasil mengumpulkan uang semalaman di sebuah pasar malam. Benda yang kini membuatnya menyesal mengapa merasa perlu membelinya. Perempuan muda itu menarik napas dalam-dalam. Tak ada pesan. Rahangnya menegang, tangannya meremas ponsel di tangannya yang kecil. Apa gunanya benda ini sekarang?
Pemilik warung kopi memandang penuh iba pada perempuan muda di depannya. Sejak sore dia sudah ada disana. Setiap hari, setiap sore, perempuan muda itu duduk di tempat yang sama, bersandar pada tiang yang sama. Sesekali memandangi layar ponselnya. Menunggu pesan, entah dari siapa.
Masih lekat di benak sang pemilik warung, dua tahun yang lalu perempuan muda itu masih berlari sambil tertawa-tawa mengitari desa mengenakan celana pendek bergambar tikus. Rambut hitamnya yang panjang, tebal dan berkilau indah melayang-layang bagai selendang seorang bidadari. Kala itu usianya baru enam belas tahun, namun keelokkan wajahnya adalah gambaran sempurna seorang gadis desa. Keceriannya adalah madu dari setiap permainan dan ketidakhadirannya adalah peredup semangat di semua pembicaraan.
Siapa yang tak kenal perempuan muda itu? Dialah satu-satunya dambaan para pria desa yang setiap minggu kembali pulang dari bekerja. Dan saat seorang pria mendatangi orang tua perempuan muda dan meminangnya, reduplah harapan para pria desa lainnya. Perempuan muda itu mendatangi takdirnya. Menikah.
Entah apa yang terjadi pada perempuan muda itu hingga setahun lalu dia kembali ke desa. Sendirian. Berkelebat ingatan tentang pesta pernikahan mewah yang berlangsung selama tiga hari tiga malam. Dimana setiap orang ikut berbahagia untuknya. Lalu hari dimana setiap orang melambaikan tangannya mengantar kepindahan perempuan muda ke kota bersama suami barunya. Semua kenangan itu berlomba-lomba memenuhi ingatan sang pemilik warung.
"Non!" sebuah suara berat menyerukan nama perempuan muda di warung kopi.
Seorang pria gendut dengan kumis hitam lebat berusia lebih dari empat puluh tahun melambaikan tangannya pada perempuan muda. Seorang laki-laki, entah siapa, berdiri tak jauh darinya. Perempuan muda itu tersenyum seraya membalas lambaian. Jarinya dengan sigap melempar batang rokok yang masih setengah lalu meneguk habis minumannya. Setengah berlari dia menuju laki-laki gendut dan seorang teman yang berdiri tak jauh darinya. Malam ini dia tidak sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar