Senin, 12 Mei 2014

Ngentit Goceng Masuk Neraka

Aku berlari menjauhi hujan. Kakiku berkecipak pada genangan air saat langkahku semakin dekat menuju kantor. Kaca mataku berpola titik titik air.

"Hujaaan.." kataku seraya menyerahkan dokumen di meja rekan kerja lalu duduk di sampingnya.

"Kenapa sih, Ndah, muka mu koq dari tadi merengut aja?" tanya Bu Vanda, atasanku, heran.

"Ibuuu.. Aku sedang galau." kupasang wajah se-mengiba mungkin.

"Lho kenapa?" tanyanya lagi.

"Gara-gara orang sebelah kontrakan gak mau gantian bayar listrik, Bu. Saya kan udah bayar untuk bulan ini, tapi dia bilang saya belum bayar ke orang kontrakan yang lain. Mana iurannya dilebihin goceng lagi, Bu. Kalo mau ngentit mah jangan nanggung ya, Bu? Dosanya sama, masuk neraka juga. Goceng doang, sampe mana sih? Bakso yang gak enak aja harganya delapan ribu." ujarku panjang lebar.

"Hahaha.. Kacau kamu, Ndah. Goceng doang. Dosanya sama, masuk neraka juga. Bener.. Bener.." balas Bu Vanda.

"Deket rumah saya sih sembilan ribu, enak." jawab Pak Ading asal.

"Ya saya sih gak majalah ya, Bu soal gocengnya. Tapi ini, udah ngentit, fitnah pula." ujarku lagi.

"Hahaha.. Gak majalah. Haduh Endah.. Endah.. Kamu ini lucu amat sih..." Bu Vanda menarik napas, "Fitnah kan lebih kejam dibanding pembunuhan ya, Ndah?"

"Lebih kejam juga di banding fitnes, Bu." jawabku sambil menyambar mangkuk manisan mangga.

Mendengar jawabanku Bu Vanda malah ketawa tanpa suara sambil memukulkan tangannya pada buku di meja. Kepalanya menempel di meja dengan posisi miring.

"Ihh Ibu, saya kan lagi curhat malah diketawain." ujarku di sela-sela suapan manisan mangga.

"Haduuhh ini anak makan apa sih, bisa aneh begini.." Bu Vanda geleng-geleng kepala. Aku nyengir.

"Bu Tina, ko sakit cacar cepet banget sembuhnya? Cuma tiga hari gak ada bekasnya?" tanyaku pada rekan kerja.

"Aku minum mapo, Ndah. Jadi cepet kering." jawabnya.

"Ohh, mapo. Kalo saya dulu dikasih air teh basi biar cepet kering cacarnya." kataku.

"Owalah.. Dikasih teh basi toh. Pantes kamu jadi basi gini, Ndah.." ujar Bu Vanda diiringi tawa.

Manisan mangga di mangkuk masih banyak dan saya bersedia memakannya pelan-pelan hingga habis sementara langit masih saja hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar