Jumat, 30 Mei 2014

Lana: Sang Striker

"Gooooool...."

"Ya ampun.. Lana mainnya keren banget!" ujar seorang anak perempuan usia belasan.

"Pokoknya cinta banget sama Lana!" ujar anak perempuan di sebelahnya.


Lana, bintang sepak bola setingkat RT itu berlari mundur seraya melambai pada beberapa anak perempuan yang menonton di pinggir lapangan. Beberapa di antaranya melompat-lompat kegirangan.

- - - - - * * * * * - - - - -

"Katanya besok ada mau ngajak tanding bola, Bang?" tanya Uwi, adik perempuan Lana, saat kami melintasi kebun salak selepas permainan.

"RT sebelah. Katanya sih mereka punya jagoan baru." jawab Lana.

"Jagoan baru? Siapa ya kira-kira? Mereka kan udah lama kalah tanding mulu sama kita." sahutku.

"Gak tau deh. Yang jelas kita tetap harus waspada untuk pertandingan besok." jawab Lana.

"Betul! Eh, pada ngaji gak?" tanyaku.

"Ngajilah. Mau disabet Kong Duloh?" jawab Lana. Aku dan Uwi saling pandang sambil nyengir.

- - - - - * * * * * - - - - -

Lana berlari ke tengah lapangan setelah menenggak habis air mineral botol yang tadi disodorkan Uwi. Rambutnya yang basah menjuntai menutupi seluruh dahinya yang bersih. Sorak sorai teriakan anak-anak perempuan ddi pinggir lapangan menggema di sekitar kebon durian.

Lana bersiap menendang bola ke gawang setelah operan dari Dani. Napasnya turun naik secara teratur, tatapan matanya fokus. Lalu tiba-tiba semua seakan bergerak secara lambat.

Beberapa anak laki-laki usia belasan berjalan dari arah kebun bambu, batas wilayah dari RT sebelah, ke arah lapangan tempat kami bermain. Semua wajah yang telah kami kenal lama, mereka yang selalu bermain kasar dan curang. Pakaian mereka memang selalu lebih bagus dari kami. Tapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dengan mereka.

"Lan, sesuai janji. Kita tanding hari ini." ujar Eko, ketua sepak bola RT sebelah.

"Siap." ujar Lana.

"Dan ini, kenalin jagoan baru kita. Teguh."

Seorang anak laki-laki dengan rambut gondrong, berbaju merah, bercelana cokelat susu, memakai tiga buah karet gelang di tangan kanan dan tanpa mengenakan sandal menjabat tangan Lana. Kami semua terdiam. Siapa dia?

Teguh berjalan menjauh. Lana menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar formasi berubah. Pertandingan baru akan dimulai ketika Teguh mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya dan meminum isinya. Minyak kayu putih.

Pertandingan berlangsung seru walau nyamuk kebon sebesar buah buni mengincar kaki-kaki kecil kami. Aku dan Uwi bersandar pada akar pohon rambutan dengan batang sebesar badan orang dewasa. Beberapa anak perempuan mengambil tempat duduk di seberang kami. Bersandar pada bale-bale di bawah pohon mangga.

Teguh benar-benar menguasai permainan, sedang Lana yang yang sudah menguras tenaganya di permainan sebelumnya nampak kelelahan. Lalu di lima menit berikutnya, semua kekhawatiran kami terjawab.

"Heh! Pada gak ngaji, Luh?" kami semua menoleh pada sumber suara.

Seorang pria tua dengan pakaian ala bangsawan Betawi mengacungkan tongkat berukir burung rajawali berwarna cokelat ke arah kami. Kong Duloh! Keramaian seketika bubar.

- - - - - * * * * * - - - - -

Beberapa hari setelah pertandingan bola antar RT, kami menyadari satu hal: tidak ada lagi anak-anak perempuan yang mengelu-elukan nama Lana. Tidak ada lagi lirikan sembunyi-sembunyi ke arah anak laki-laki bertubuh kurus dan berkulit bersih itu. Kami kalah dan dia seperti terlupakan..

Lana nampak murung. Tidak ada lagi kebanggaan yang terpancar di wajahnya atau dari cara dia berjalan. Hingga suatu hari aku melihatnya duduk termenung di salah satu tiang mushala tempat kami mengaji.

"Kenapa Lan?" tanyaku.

"Ini gak bisa dibiarin, Ndah. Harus ada yang bertindak." ujar Lana tak jelas.

"Maksudnya?"

"Teguh. Kita harus datengin Teguh." jawab Lana dengan mata berapi-api.

"Teguh? Si anak minyak kayu putih? Mau ngapain?" tanyaku ragu.

"Ah, dasar cewek. Banyak tanya." ujar Lana sambil meninggalkanku.

"Dasar cowok, suka gak jelas." jawabku kesal.

- - - - - * * * * * - - - - -

Teguh melemparkan batu-batu kecil pada pohon kecapi kecil, dikelilingi beberapa anak laki-laki dan perempuan. Merasa seperti idola di kampung yang baru dia tempati. Lana, aku dan Uwi berjalan mendekati kerumunan itu.

"Teguh.." panggil Lana.

Teguh menghentikan lemparannya dan menoleh pada kami. Wajahnya terasa ramah.

"Bagaimana jika kita bergabung?" tawar Lana.

Aku dan Uwi saling pandang. Kaget. Aku merasakan anak-anak lain juga merasakan hal yang sama.

"Oke.." Teguh menjabat tangan Lana seraya tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar