Langit kelabu pucat memayungi makhluk bumi siang ini. Semilir angin sejuk menerpa ujung kerudungku, meliuk-liuk bagai tarian yang mempesona. Aku menghela napas. Aku berdiri di depan sebuah rumah mungil bercat putih. Setelah sekian lama kini aku kembali.
Ya Allah, kuatkan hamba. Doa ku dalam hati. Ku langkahkan kakiku pelan dan mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam.." suara seorang perempuan menjawab salamku. Beliau di rumah.
Aku tersenyum saat mata kami bertemu. Sejenak kami saling terpaku. Sedetik kemudian aku sudah berada dalam pelukan perempuan tadi. Tanpa sadar, air mataku menetes dan membasahi bajunya. Tuhan, bantu hamba.
Perempuan tadi membimbingku masuk ke rumahnya. Kami duduk berhadapan. Aku tersenyum memandangnya. Beliau, seorang perempuan setengah baya yang selama ini ku panggil 'Ibu'.
Setelah beberapa lama bicara, kusorongkan sebuah amplop kuning ke atas meja. Perempuan setengah baya itu tercekat. Matanya seolah bertanya : apa ini?. Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Buru-buru beliau membuka amplop itu. Dari kesunyian yang mencekik, aku dapat merasakan keterkejutannya.
"Nak, Ibu tidak mengerti. Bagaimana mungkin ini...?" tanyanya padaku.
"Maafkan saya, Bu," jawabku sambil tetap menunduk. Ku remas jari-jariku untuk menahan air mata yang hampir keluar.
"Bagaimana dengan Arka? Kamu sudah bicara dengannya?" tanyanya lagi. Aku menggeleng.
Arka. Bagaimana kabarnya sekarang?
***
Siang itu selepas menunaikan sholat zuhur, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Arka.
Temui aku. Taman Menteng. Jam 4 sore ini.
Aku tak punya gambaran apa pun tentang apa yang akan terjadi.
Jam empat lebih sepuluh menit, ku jejakkan kakiku memasuki area Taman Menteng. Tak seperti biasa, sore itu Taman Menteng tampak lebih sepi di banding hari-hari lainnya. Dia telah menunggu.
"Assalamualaikum.." sapanya sambil berdiri saat aku ada di dekatnya.
"Waalaikumsalam.." jawabku.
Tubuh di balik kemeja kerjanya yang berwarna putih gading tampak lelah. Namun raut wajahnya sama sekali tak dapat kubaca. Dalam sorot matanya ada perpaduan antara kebimbangan dan kebahagiaan. Kami duduk.
"Bagaimana perjalananmu?" tanyanya mencairkan suasana.
"Tidak terlalu macet," kataku.
Dia menghela napas. Mengambil jeda sejenak. Entah apa yang akan di sampaikannya. Aku menunggu. Berdebar.
"Beberapa hari kemarin, aku telah memikirkan masalah ini. Aku minta maaf jika keputusanku nanti melukaimu, tapi sungguh aku tak mungkin membohongi hatiku lebih lama lagi.."
Aku tercekat. Melukaiku?. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? Kalimatnya membuat dadaku tiba-tiba terasa sakit.
"Maafkan aku. Aku mencintai gadis lain.."
Seketika saja mataku basah. Aku harus kuat. Tuhan pasti sudah menyiapkan kisah yang lebih indah untukku. Ku seka air mataku, tersenyum lalu memandangnya.
"Aku melepasmu."
***
Aku sadar betul bahwa Arka masih menyembunyikan keputusannya terhadap hubungan kami karena tak satu pun keluarga yang bertanya alasan mengapa Arka memutuskanku. Kuputuskan untuk tidak berlama-lama berada di rumah ini.
"Sampaikan salam saya pada Arka ya Bu, saya pamit," kataku akhirnya.
"Ibu masih berharap bahwa undangan ini..."
"Saya harap Ibu berkenan hadir..."
Perempuan setengah baya itu kemudian memelukku. Air mataku tak dapat dibendung lagi. Seketika saja baju kami berdua telah basah.
"Gadis," sebuah suara kemudian menyadarkan kami. Aku menoleh.
***
Dengan langkah gontai aku menuju rumah. Pakaianku basah karena keringat. Beberapa helai rambut menjuntai jatuh di atas dahi. Kakiku perih. Ahh, jalan raya sore ini benar-benar tidak bersahabat. Rasanya aku ingin berteriak tadi.
Dari jauh kulihat pintu gerbang terbuka. Mungkin ada tamu, pikirku. Aku penasaran siapa yang datang berkunjung.
Deg! Kulihat sepasang sepatu mungil yang sudah sangat kuhafal, tersusun rapi di depan pintu. Tidak terasa sudah lewat empat bulan aku tidak bertemu dengannya.
Beberapa hari belakang ini sebenarnya aku sedang menimbang untuk menemuinya, namun terselip sedikit rasa takut dalam hatiku. Aku ingat betapa sore itu mungkin aku menjadi orang paling kejam di dunia. Secara sepihak, kuputuskan hubunganku dengannya.
Gadis. Perempuan muda itu tak punya salah sama sekali tapi jiwa muda ku tengah dikuasai ego yang tinggi. Aku jatuh cinta lagi. Perempuan muda lain mempesona jiwa mudaku dan membuatku buta., membuatku merasa di surga. Dan yang pada akhirnya membuatku kecewa.
Jiwa mudaku kalah. Aku salah. Dan satu-satunya yang ku ingat adalah perempuan muda yang telah ku buat kecewa. Gadis. Aku harus meminta. maaf padanya. Aku ingin kembali bersamanya.
Pelan aku berjingkat ke sisi kiri pintu lalu duduk, penasaran akan pembicaraan dua orang perempuan beda usia di dalam rumah. Aku memasang telinga. Samar-samar ku dengar namaku di sebut. Aku terpaku. Pelan, pembicaraan itu berjalan. Hening menghiasi hampir di setiap kalimat. Hingga ku dengar ada sesuatu yang aneh.
Ku tarik napas panjang, lalu berdiri. Otakku yang penasaran masih menerka apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aku tak ingin mengambil kesimpulan yang aku sendiri takut untuk membayangkannya. Jadi aku melangkah mendekati pintu. Di hadapanku dua orang perempuan sedang menangis dan berpelukan. Lalu pandanganku terantuk pada sesuatu di atas meja. Aku tercekat.
Undangan.
Ya Tuhan, maafkan aku. Sungguh aku menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya. Tapi mengapa Kau memisahkan kami? Ya Tuhan. Aku menjerit dalam hati.
Entah dari mana datangnya air mataku tiba-tiba meluncur di pipi. Kakiku hampir goyah. Tubuhku bergetar menahan kesedihan. Tapi aku harus kuat. Ini takdirku. Dan hukuman atas keegoisanku. Ku seka air mataku lalu melangkah masuk. Kutarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian untuk memanggil namanya. Lagi.
"Gadis," kerongkonganku terasa berat, "... aku melepasmu."
Ya Allah, kuatkan hamba. Doa ku dalam hati. Ku langkahkan kakiku pelan dan mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam.." suara seorang perempuan menjawab salamku. Beliau di rumah.
Aku tersenyum saat mata kami bertemu. Sejenak kami saling terpaku. Sedetik kemudian aku sudah berada dalam pelukan perempuan tadi. Tanpa sadar, air mataku menetes dan membasahi bajunya. Tuhan, bantu hamba.
Perempuan tadi membimbingku masuk ke rumahnya. Kami duduk berhadapan. Aku tersenyum memandangnya. Beliau, seorang perempuan setengah baya yang selama ini ku panggil 'Ibu'.
Setelah beberapa lama bicara, kusorongkan sebuah amplop kuning ke atas meja. Perempuan setengah baya itu tercekat. Matanya seolah bertanya : apa ini?. Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Buru-buru beliau membuka amplop itu. Dari kesunyian yang mencekik, aku dapat merasakan keterkejutannya.
"Nak, Ibu tidak mengerti. Bagaimana mungkin ini...?" tanyanya padaku.
"Maafkan saya, Bu," jawabku sambil tetap menunduk. Ku remas jari-jariku untuk menahan air mata yang hampir keluar.
"Bagaimana dengan Arka? Kamu sudah bicara dengannya?" tanyanya lagi. Aku menggeleng.
Arka. Bagaimana kabarnya sekarang?
***
Siang itu selepas menunaikan sholat zuhur, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Arka.
Temui aku. Taman Menteng. Jam 4 sore ini.
Aku tak punya gambaran apa pun tentang apa yang akan terjadi.
Jam empat lebih sepuluh menit, ku jejakkan kakiku memasuki area Taman Menteng. Tak seperti biasa, sore itu Taman Menteng tampak lebih sepi di banding hari-hari lainnya. Dia telah menunggu.
"Assalamualaikum.." sapanya sambil berdiri saat aku ada di dekatnya.
"Waalaikumsalam.." jawabku.
Tubuh di balik kemeja kerjanya yang berwarna putih gading tampak lelah. Namun raut wajahnya sama sekali tak dapat kubaca. Dalam sorot matanya ada perpaduan antara kebimbangan dan kebahagiaan. Kami duduk.
"Bagaimana perjalananmu?" tanyanya mencairkan suasana.
"Tidak terlalu macet," kataku.
Dia menghela napas. Mengambil jeda sejenak. Entah apa yang akan di sampaikannya. Aku menunggu. Berdebar.
"Beberapa hari kemarin, aku telah memikirkan masalah ini. Aku minta maaf jika keputusanku nanti melukaimu, tapi sungguh aku tak mungkin membohongi hatiku lebih lama lagi.."
Aku tercekat. Melukaiku?. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? Kalimatnya membuat dadaku tiba-tiba terasa sakit.
"Maafkan aku. Aku mencintai gadis lain.."
Seketika saja mataku basah. Aku harus kuat. Tuhan pasti sudah menyiapkan kisah yang lebih indah untukku. Ku seka air mataku, tersenyum lalu memandangnya.
"Aku melepasmu."
***
Aku sadar betul bahwa Arka masih menyembunyikan keputusannya terhadap hubungan kami karena tak satu pun keluarga yang bertanya alasan mengapa Arka memutuskanku. Kuputuskan untuk tidak berlama-lama berada di rumah ini.
"Sampaikan salam saya pada Arka ya Bu, saya pamit," kataku akhirnya.
"Ibu masih berharap bahwa undangan ini..."
"Saya harap Ibu berkenan hadir..."
Perempuan setengah baya itu kemudian memelukku. Air mataku tak dapat dibendung lagi. Seketika saja baju kami berdua telah basah.
"Gadis," sebuah suara kemudian menyadarkan kami. Aku menoleh.
***
Dengan langkah gontai aku menuju rumah. Pakaianku basah karena keringat. Beberapa helai rambut menjuntai jatuh di atas dahi. Kakiku perih. Ahh, jalan raya sore ini benar-benar tidak bersahabat. Rasanya aku ingin berteriak tadi.
Dari jauh kulihat pintu gerbang terbuka. Mungkin ada tamu, pikirku. Aku penasaran siapa yang datang berkunjung.
Deg! Kulihat sepasang sepatu mungil yang sudah sangat kuhafal, tersusun rapi di depan pintu. Tidak terasa sudah lewat empat bulan aku tidak bertemu dengannya.
Beberapa hari belakang ini sebenarnya aku sedang menimbang untuk menemuinya, namun terselip sedikit rasa takut dalam hatiku. Aku ingat betapa sore itu mungkin aku menjadi orang paling kejam di dunia. Secara sepihak, kuputuskan hubunganku dengannya.
Gadis. Perempuan muda itu tak punya salah sama sekali tapi jiwa muda ku tengah dikuasai ego yang tinggi. Aku jatuh cinta lagi. Perempuan muda lain mempesona jiwa mudaku dan membuatku buta., membuatku merasa di surga. Dan yang pada akhirnya membuatku kecewa.
Jiwa mudaku kalah. Aku salah. Dan satu-satunya yang ku ingat adalah perempuan muda yang telah ku buat kecewa. Gadis. Aku harus meminta. maaf padanya. Aku ingin kembali bersamanya.
Pelan aku berjingkat ke sisi kiri pintu lalu duduk, penasaran akan pembicaraan dua orang perempuan beda usia di dalam rumah. Aku memasang telinga. Samar-samar ku dengar namaku di sebut. Aku terpaku. Pelan, pembicaraan itu berjalan. Hening menghiasi hampir di setiap kalimat. Hingga ku dengar ada sesuatu yang aneh.
Ku tarik napas panjang, lalu berdiri. Otakku yang penasaran masih menerka apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aku tak ingin mengambil kesimpulan yang aku sendiri takut untuk membayangkannya. Jadi aku melangkah mendekati pintu. Di hadapanku dua orang perempuan sedang menangis dan berpelukan. Lalu pandanganku terantuk pada sesuatu di atas meja. Aku tercekat.
Undangan.
Ya Tuhan, maafkan aku. Sungguh aku menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya. Tapi mengapa Kau memisahkan kami? Ya Tuhan. Aku menjerit dalam hati.
Entah dari mana datangnya air mataku tiba-tiba meluncur di pipi. Kakiku hampir goyah. Tubuhku bergetar menahan kesedihan. Tapi aku harus kuat. Ini takdirku. Dan hukuman atas keegoisanku. Ku seka air mataku lalu melangkah masuk. Kutarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian untuk memanggil namanya. Lagi.
"Gadis," kerongkonganku terasa berat, "... aku melepasmu."

Tidak ada komentar:
Posting Komentar