Senin, 20 Mei 2013

Aku Akan Tetap di Sisinya...

"Jangan menerimanya!" suara Salsa meninggi beberapa oktaf.

"Tapi Sa..."

"Dengar aku, Dis. Dia tidak mencintaimu. Dia hanya memanfaatkanmu. Kumohon sadarlah." suanya melembut.

Aku diam. Mencoba memahami kalimatnya. Kuhela napas panjang dengan lemah. Dia tidak mengerti aku.

"Dia jelas-jelas telah menolakmu dan memilih perempuan lain. Seharusnya kau curiga, mengapa saat waktu pernikahan mereka telah begitu dekat, dia justru datang dan memintamu hidup bersamanya? Pasti ada yang tidak beres, Dis." jelas Salsa panjang lebar.

Aku menghela napas lagi. Satu-satunya yang tidak beres disini adalah otak ku. Aku butuh seseorang untuk mendukungku. Mengerti aku. Bukan seseorang yang menyadarkan ku dari ketiadaan logika dalam cara berpikirku.

"Dia.."

"Dia tidak mungkin tiba-tiba sadar dan merasa telah salah mencintai seseorang. Kau berhak mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintaimu. Benar-benar ada untukmu." Salsa memotong ucapanku.

"Aku rela menjadi bodoh hanya untuk tetap bisa bersamanya. Tak peduli sesakit apa hatiku nanti. Aku hanya seorang perempuan yang terjerat cinta dan akan mempertaruhkan segalanya hanya untuk merasa bahagia. Aku mencintainya..." Salsa menghela napas. Dia telah kalah. Dan dia menyerah.

-------------------------


Ini keputusan yang berat. Namun aku tahu, cepat atau lambat aku harus memberi jawaban. Dan jawabanku nanti adalah sesuatu yang tidak bisa diubah. Hidupku tergantung pada keputusanku nanti.

Perempuan setengah baya itu masih menangis tersedu-sedu. Rok ku kotor. Aku terpaksa duduk di lantai lorong rumah sakit karena perempuan di depanku tadi menangis sambil memegangi lututku. Aku harus memaksanya berdiri sebelum orang-orang menyangka yang bukan-bukan tentang kami.

Ku ulurkan sapu tangan ku padanya. Dia mengucapkan terima kasih tanpa suara saat sapu tanganku berpindah. Perempuan setengah baya di menghela napas. Matanya basah. Aku tak tahan lagi jadi kupeluk dia. Aku tak mau melepaskan pelukan ini karena aku tahu saat pelukan kami terlepas aku harus memberinya jawaban padahal aku belum membuat keputusan.

Perempuan itu menatapku dalam-dalam. Bertanya langsung pada hatiku. Aku menunduk. Tak tahu harus bicara apa. Tiba-tibaia menarik tanganku. Kami berjalan di lorong rumah sakit yang cukup padat siang itu. Aku tahu kemana tujuan kami.

Kami sampai di depan sebuah pintu berwarna cokelat dengan kaca di tengahnya. Bau obat-obatan tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam paru-paruku dan menekannya hingga membuatku batuk. Perempuan setengah baya di sampingku menatapku dan menguatkan genggaman tangannya. Kami melangkah masuk.

Di depan kami sebuah kamar bernuansa putih pucat dengan tempat tidur besi di sisi kanannya. Seorang pria muda yang sedang terlelap terbaring di atasnya. Wajahnya yang damai terlihat pucat. Botol cairan infus tergantung disisi kiri tempat tidur, mengalir di selang bening kecil dan perlahan masuk ke dalam nadinya lewat jarum yang menusuk sisi atas tangan kirinya. Aku menelan ludah.

Perempuan setengah baya itu berjalan mendekati pemuda yang sedang terlelap. Membelai lembut keningnya yang lebar lalu menciumnya. Pemuda itu membuka mata. Mata mereka bertemu pandang lalu tersenyum. Lalu sekonyong-konyong kepala pemuda itu menoleh padaku. Mata kami bertemu. Dengan isyarat anggukan kepala dia memintaku untuk mendekat. Aku menurut.

Berkelebat semua kenangan tentangnya dulu di mataku. Caranya berdiri yang begitu gagah, caranya berjalan yang begitu mempesona, caranya bicara yang selalu membuatku terpukau. Tentang penampilannya yang selalu ku beri nilai sempurna. Tentang senyumnya yang membuatku tak bisa berkata-kata. Dan melihatnya terbaring lemah di tempat tidur membuatku sulit bernapas. Udara sepertinya melarikan diri dari ku.

Perempuan setengah baya itu merangkulku saat aku sudah berdiri di sisi tepat tidur dan menangis lagi di bahuku. Pemuda itu tersenyum lemah padaku. Aku tak tahan lagi. Ku kuatkan diri dan menolehkan kepalaku ke arah ujung tempat tidur. Perempuan setengah baya itu telah menjelaskan semuanya padaku tapi tetap saja aku merasa leherku tercekik.

"Baiklah..." kataku tiba-tiba. Perempuan setengah baya dan pemuda di tempat tidur memandangku. Menunggu. Perempuan setengah baya masih sesegukan beberapa kali, mencoba meredam tangis akan kepedihan hatinya. Aku menelan ludah.

".. Aku akan menikah dengannya." akhirnya ku selesaikan kalimatku tadi.

Perempuan setengah baya memelukku erat. Air matanya yang hangat menembus kerudung dan baju gamisku. Pemuda di tempat tidur tersenyum padaku. Aku membalasnya. Terima kasih katanya tanpa suara. Sekilas, ku lihat setetes air mata mengalir turun dari sudut matanya.

Kuharap aku telah melakukan sesuatu dengan benar. Walau dia tidak akan bisa menuntunku berjalan di pematang sawah, menari di bawah siraman air hujan seperti yang sering aku bayangkan, berlari menyusuri pantai di senja hari untuk mengejarku atau memapahku saat kakiku terkilir nanti. Aku akan tetap berdiri di sisinya di tepi pantai saat menikmati sunset, duduk di taman setiap pagi dan sore sambil menikmati kicauan burung-burung, menggenggam jari-jarinya saat hatinya merasa gelisah atau memeluknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan menjalani hari esok.

Aku akan tetap ada disisinya walau dia tak kan pernah menggendong buah hati kami di bahunya, mengajarinya mengayuh sepeda atau bermain bola, pergi berkemah atau naik ke gunung.

Aku akan tetap berada di sisinya walau kecelakaan telah merebut segala kesempurnaannya, mengubah masa depan dan rencana-rencananya. Walau pada awalnya dia menolakku dan memilih perempuan lain yang membuat hatiku remuk. Walau dokter berkata bahwa kecil peluangnya untuk berjalan lagi. Aku akan tetap berada di sisinya karena aku...mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar