Aku terbangun karena udara dingin yang menyengat-nyengak. Betisku membeku. Perlahan kusibak kan selimut dan turun dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. Seruan Tuhan memanggilku untuk menghadap-Nya. Tuhan aku datang.
Di atas sajadah, dalam doa-doa panjang selepas shalat, aku mengadu pada-Nya. Air mataku mengalir begitu deras, membuat noda basah di mukena ku. Aku terisak-isak dalam permohonan dan doaku.
Langit biru cerah dan semilir angin sejuk memeluk seluruh makhluk bumi. Kicauan burung di ranting-ranting pohon, suara ayam yang mengais tanah mencari rezeki yang di janjikan Tuhannya, melodi alam terindah di telingaku.
Aku berdiri di halaman rumahku, menyambut pagi sebagaimana ku lakukan setiap hari. Seorang pria muda keluar dari pintu dan mendekatiku. Badannya tinggi dan tegap dengan langkah-langkah panjang yang anggun. Sebuah kecupan lembut nan hangat di daratkan di keningku. Aku tersenyum padanya. Ku belai pipinya yang sedikit kasar karena bulu yang tumbuh.
"Jangan terlambat..." kataku padanya.
"Aku pasti datang." dia mencium keningku lagi, melambai lalu pergi bersama laju kendaraan yang dia kemudikan. Dia pasti datang, kataku dalam hati.
Ku putuskan berjalan-jalan di sekeliling tempat tinggalku. Sebuah kampung dengan warga yang ramah. Beberapa orang menyapa dan tersenyum saat berpapasan denganku. Aku senang tinggal disini.
Matahari mulai naik. Aku memicingkan mataku, berusaha menghalau terangnya sinar pada mataku. Sekarang waktunya. Ku putuskan untuk pulang dan bersiap.
Hari ini aku akan menemuinya. Setelah sekian lama, kami akan bertemu. Lagi. Sudah dua tahun sejak dia pergi namun tak pernah sehari pun aku tak memikirkannya. Sebuah kisah cinta paling membahagiakanku. Aku bersyukur pernah merasakannya.
Aku berdandan seistimewa yang kubisa. Aku ingin dia melihatku sebagaimana pertama kali kami bertemu. Di sore hari yang cerah saat aku masih beranjak remaja. Dan sejak itu hatiku terpaut.
Sore itu. Aku baru saja menghindar dari lemparan bola kasti seorang teman dalam permainan yang sedang berlangsung. Aku berlari sekuat ku bisa. Bajuku penuh lumpur. Aku tau ibuku akan marah tapi aku tak peduli. Permainan sedang seru!
Aku baru saja berkelit. Aku hampir menang. Kataku dalam hati. Hatiku sedang bersorak. Dua menit lagi dan semua berakhir. Skor beda tipis. Aku pasti menang!
Bruk!!
Aku terhuyung lalu jatuh. Kalah. Hanya itu yang ada dalam benakku. Sial! Sial! Siapa sih yang menghalangi jalanku?! Aku pasti akan menghajarnya!
"Kamu tidak apa-apa, Dik?" tanya sebuah suara. Lalu sebuah tangan terulur. Aku meraih tangan itu dan mendongak. Marah.
"Aku tidak apa-apa. Tapi lihat yang telah kau lakukan, kami kalah!" semburku.
Dia mengernyit. Lalu terdengar suara bersorak-sorak dari teman-teman yang menang dalam permainan. Dia melihat sekeliling dan baru sadar apa yang ku maksud tadi.
"Kau berhutang padaku!" ku injak kakinya keras-keras, ku acungkan jariku dengan marah ke arahnya lalu berlari pulang. Sayup-sayup aku mendengar suaranya yang mengaduh.
Sudah kuduga. Ibu marah melihat betapa kotornya pakaianku. Aku cuma nyengir. Ibu menghukumku dengan tidak memperbolehkanku menonto tivi. Jadi kuputuskan untuk duduk di ruang tamu bersama ayah setelah PRku selesai.
Saat kami sedang ngobrol, tiba-tiba terdengar suara seseorang memberi salam.
"Assalamualaikum..." aku bangkit dari kursi seraya menjawab salam.
"Waalaikumsalam..."
Ternyata Pak Darso dan...
Deg!
Laki-Laki Yang Tadi! Ngapain dia disini? Kenapa bisa kenal sama Pak Darso? Ada hubungan apa mereka? Kenapa...
"Heh, malah bengong! Bapak ada, Dis?" tanya Pak Darso.
"Hemh..eh iya ada, Pak. Masuk, Pak." kataku lalu memberikan jalan pada Pak Darso dan Laki-Laki Yang Tadi. Lalu aku melihat ada sesuatu yang aneh. Jalannya pincang! Laki-Laki Yang Tadi jalannya pincang!
"Malam Pak Darso... Lho ini siapa, Pak? Kenapa kakinya di perban? Luka ya?" tanya Bapak.
"Kenalkan ini keponakaan saya, Pak. Namanya Arka. Katanya tadi kesandung jadi bengkak." terang Pak Darso.
Oh jadi namanya Arka.
"Oo begitu rupanya. Arka kerja atau kuliah?" tanya Bapak.
"Kuliah sambil kerja, Pak."
Oh dia kuliah sambil kerja.
"Jadi ceritanya Arka akan tinggal di rumah saya untuk sementara, Pak." Pak Darso berkata lagi.
Oh jadi dia akan tinggal di kampung ini.
Hah?! Apa?! Dia mau tinggal di kampung ini?
"Gadis.. ngapain kamu di depan pintu? Bikin minum sana." suara Bapak menyadarkanku. Aku malu. Laki-Laki Yang Tadi tersenyum.
Setelah kedatangan Pak Darso ke rumahku malam itu, pertemuan-pertemuan kecil kami, lama-lama membuat "arti".
Sampai pada akhirnya Arka datang melamarku saat aku baru seminggu di wisuda. Ibu dan Bapak menyerahkan semua keputusan di tanganku. Aku dan Arka akhirnya menikah.
Kehidupanku setelah pernikahan berjalan bahagia. Pertengkaran-pertengkaran kecil membuat hubungan kami makin hangat. Ku pikir kami akan bahagia selamanya namun waktu membuktikan bahwa aku salah. Kami berpisah.
Aku harus kuat. Aku harus rela. Saat waktu kami bersama telah habis dan tiba lah kami harus merelakan perpisahan ini. Aku melihatnya menangis saat terakhir ku genggam tangannya. Aku tau dia tak rela tapi inilah takdir. Dan aku pun melepasnya.
Kini sudah dua tahun sejak terakhir kami bersama. Aku sudah siap dan akan ku tepati janjiku untuk menemuinya. Arka, aku datang.
Langit berubah mendung saat ku turun dari taksi yang membawaku ke tempat pertemuan. Aku memandang betapa sepinya tempat ini. Seorang pria datang dan tersenyum padaku. Mengantarku ke tempat Arka menunggu.
"Assalamualaikum, Bang.." ku ucapkan salam padanya.
Aku menghela napas. Kuremas jari-jariku. Dadaku berdegup terlalu kencang. Aku tak tahan. Aku menyerah. Lalu aku menangis. Ternyata aku belum siap. Aku salah.
Aku hanya terdiam untuk beberapa saat. Tak ada yang kulakukan. Aku hanya berdoa agar Tuhan menguatkan aku. Energiku habis. Tubuhku terguncang lalu sebelum aku sadar apa yang terjadi, kakiku kehilangan keseimbangan...
Sebuah lengan besar dan kuat menangkap tubuhku yang lemah dan hampir jatuh ke tanah. Pria Muda ku ada disini. Dia menepati janji. Dia datang. Kutatap matanya memperlihatkan kekhawatiran. Aku terseyum, menepuk lembut pipinya. Berusaha berdiri lagi, melepaskan diri dari pelukannya.
"Ayo kita pulang." Pria Mudaku berkata. Aku hanya mengangguk.
"Kami pulang dulu, Bang..." aku berkata pelan.
Kami melangkah pelan-pelan. Pria Muda ku menuntunku dengan penuh kasih sayang. Setelah beberapa langkah, ku tengok lagi pusara pria yang telah mendahuluiku menghadap Sang Khalik.
"Ayah sudah tenang disana, Bu.." Pria Muda ku berkata lagi. Aku tersenyum. Tangannya yang kuat meremas jari-jariku yang keriput. Mencoba menenangkan hatiku yang gemetar.
Dan gerimis mulai datang bersama air mataku yang kembali turun..
"Bang, selamat ulang tahun..." gumamku lirih.
Note: suasana terbangun oleh lagu Pernah by Duette
Di atas sajadah, dalam doa-doa panjang selepas shalat, aku mengadu pada-Nya. Air mataku mengalir begitu deras, membuat noda basah di mukena ku. Aku terisak-isak dalam permohonan dan doaku.
Langit biru cerah dan semilir angin sejuk memeluk seluruh makhluk bumi. Kicauan burung di ranting-ranting pohon, suara ayam yang mengais tanah mencari rezeki yang di janjikan Tuhannya, melodi alam terindah di telingaku.
Aku berdiri di halaman rumahku, menyambut pagi sebagaimana ku lakukan setiap hari. Seorang pria muda keluar dari pintu dan mendekatiku. Badannya tinggi dan tegap dengan langkah-langkah panjang yang anggun. Sebuah kecupan lembut nan hangat di daratkan di keningku. Aku tersenyum padanya. Ku belai pipinya yang sedikit kasar karena bulu yang tumbuh.
"Jangan terlambat..." kataku padanya.
"Aku pasti datang." dia mencium keningku lagi, melambai lalu pergi bersama laju kendaraan yang dia kemudikan. Dia pasti datang, kataku dalam hati.
Ku putuskan berjalan-jalan di sekeliling tempat tinggalku. Sebuah kampung dengan warga yang ramah. Beberapa orang menyapa dan tersenyum saat berpapasan denganku. Aku senang tinggal disini.
Matahari mulai naik. Aku memicingkan mataku, berusaha menghalau terangnya sinar pada mataku. Sekarang waktunya. Ku putuskan untuk pulang dan bersiap.
Hari ini aku akan menemuinya. Setelah sekian lama, kami akan bertemu. Lagi. Sudah dua tahun sejak dia pergi namun tak pernah sehari pun aku tak memikirkannya. Sebuah kisah cinta paling membahagiakanku. Aku bersyukur pernah merasakannya.
Aku berdandan seistimewa yang kubisa. Aku ingin dia melihatku sebagaimana pertama kali kami bertemu. Di sore hari yang cerah saat aku masih beranjak remaja. Dan sejak itu hatiku terpaut.
Sore itu. Aku baru saja menghindar dari lemparan bola kasti seorang teman dalam permainan yang sedang berlangsung. Aku berlari sekuat ku bisa. Bajuku penuh lumpur. Aku tau ibuku akan marah tapi aku tak peduli. Permainan sedang seru!
Aku baru saja berkelit. Aku hampir menang. Kataku dalam hati. Hatiku sedang bersorak. Dua menit lagi dan semua berakhir. Skor beda tipis. Aku pasti menang!
Bruk!!
Aku terhuyung lalu jatuh. Kalah. Hanya itu yang ada dalam benakku. Sial! Sial! Siapa sih yang menghalangi jalanku?! Aku pasti akan menghajarnya!
"Kamu tidak apa-apa, Dik?" tanya sebuah suara. Lalu sebuah tangan terulur. Aku meraih tangan itu dan mendongak. Marah.
"Aku tidak apa-apa. Tapi lihat yang telah kau lakukan, kami kalah!" semburku.
Dia mengernyit. Lalu terdengar suara bersorak-sorak dari teman-teman yang menang dalam permainan. Dia melihat sekeliling dan baru sadar apa yang ku maksud tadi.
"Kau berhutang padaku!" ku injak kakinya keras-keras, ku acungkan jariku dengan marah ke arahnya lalu berlari pulang. Sayup-sayup aku mendengar suaranya yang mengaduh.
Sudah kuduga. Ibu marah melihat betapa kotornya pakaianku. Aku cuma nyengir. Ibu menghukumku dengan tidak memperbolehkanku menonto tivi. Jadi kuputuskan untuk duduk di ruang tamu bersama ayah setelah PRku selesai.
Saat kami sedang ngobrol, tiba-tiba terdengar suara seseorang memberi salam.
"Assalamualaikum..." aku bangkit dari kursi seraya menjawab salam.
"Waalaikumsalam..."
Ternyata Pak Darso dan...
Deg!
Laki-Laki Yang Tadi! Ngapain dia disini? Kenapa bisa kenal sama Pak Darso? Ada hubungan apa mereka? Kenapa...
"Heh, malah bengong! Bapak ada, Dis?" tanya Pak Darso.
"Hemh..eh iya ada, Pak. Masuk, Pak." kataku lalu memberikan jalan pada Pak Darso dan Laki-Laki Yang Tadi. Lalu aku melihat ada sesuatu yang aneh. Jalannya pincang! Laki-Laki Yang Tadi jalannya pincang!
"Malam Pak Darso... Lho ini siapa, Pak? Kenapa kakinya di perban? Luka ya?" tanya Bapak.
"Kenalkan ini keponakaan saya, Pak. Namanya Arka. Katanya tadi kesandung jadi bengkak." terang Pak Darso.
Oh jadi namanya Arka.
"Oo begitu rupanya. Arka kerja atau kuliah?" tanya Bapak.
"Kuliah sambil kerja, Pak."
Oh dia kuliah sambil kerja.
"Jadi ceritanya Arka akan tinggal di rumah saya untuk sementara, Pak." Pak Darso berkata lagi.
Oh jadi dia akan tinggal di kampung ini.
Hah?! Apa?! Dia mau tinggal di kampung ini?
"Gadis.. ngapain kamu di depan pintu? Bikin minum sana." suara Bapak menyadarkanku. Aku malu. Laki-Laki Yang Tadi tersenyum.
Setelah kedatangan Pak Darso ke rumahku malam itu, pertemuan-pertemuan kecil kami, lama-lama membuat "arti".
Sampai pada akhirnya Arka datang melamarku saat aku baru seminggu di wisuda. Ibu dan Bapak menyerahkan semua keputusan di tanganku. Aku dan Arka akhirnya menikah.
Kehidupanku setelah pernikahan berjalan bahagia. Pertengkaran-pertengkaran kecil membuat hubungan kami makin hangat. Ku pikir kami akan bahagia selamanya namun waktu membuktikan bahwa aku salah. Kami berpisah.
Aku harus kuat. Aku harus rela. Saat waktu kami bersama telah habis dan tiba lah kami harus merelakan perpisahan ini. Aku melihatnya menangis saat terakhir ku genggam tangannya. Aku tau dia tak rela tapi inilah takdir. Dan aku pun melepasnya.
Kini sudah dua tahun sejak terakhir kami bersama. Aku sudah siap dan akan ku tepati janjiku untuk menemuinya. Arka, aku datang.
Langit berubah mendung saat ku turun dari taksi yang membawaku ke tempat pertemuan. Aku memandang betapa sepinya tempat ini. Seorang pria datang dan tersenyum padaku. Mengantarku ke tempat Arka menunggu.
"Assalamualaikum, Bang.." ku ucapkan salam padanya.
Aku menghela napas. Kuremas jari-jariku. Dadaku berdegup terlalu kencang. Aku tak tahan. Aku menyerah. Lalu aku menangis. Ternyata aku belum siap. Aku salah.
Aku hanya terdiam untuk beberapa saat. Tak ada yang kulakukan. Aku hanya berdoa agar Tuhan menguatkan aku. Energiku habis. Tubuhku terguncang lalu sebelum aku sadar apa yang terjadi, kakiku kehilangan keseimbangan...
Sebuah lengan besar dan kuat menangkap tubuhku yang lemah dan hampir jatuh ke tanah. Pria Muda ku ada disini. Dia menepati janji. Dia datang. Kutatap matanya memperlihatkan kekhawatiran. Aku terseyum, menepuk lembut pipinya. Berusaha berdiri lagi, melepaskan diri dari pelukannya.
"Ayo kita pulang." Pria Mudaku berkata. Aku hanya mengangguk.
"Kami pulang dulu, Bang..." aku berkata pelan.
Kami melangkah pelan-pelan. Pria Muda ku menuntunku dengan penuh kasih sayang. Setelah beberapa langkah, ku tengok lagi pusara pria yang telah mendahuluiku menghadap Sang Khalik.
"Ayah sudah tenang disana, Bu.." Pria Muda ku berkata lagi. Aku tersenyum. Tangannya yang kuat meremas jari-jariku yang keriput. Mencoba menenangkan hatiku yang gemetar.
Dan gerimis mulai datang bersama air mataku yang kembali turun..
"Bang, selamat ulang tahun..." gumamku lirih.
Note: suasana terbangun oleh lagu Pernah by Duette

Tidak ada komentar:
Posting Komentar