“Ayo kita
menikah..”
Ujar pria di depanku tiba-tiba. Aku
tersikap, tak siap dengan situasi seperti ini. Entah mengapa kalimat itu
terdengar begitu asing bagiku. Rasanya hampir tak dapat ku mengerti. Terdengar
seperti kalimat dalam bahasa lain yang tak pernah ku dengar sebelumnya, kalimat
dari bahasa suatu kaum yang baru ditemukan oleh para ilmuan. Tuhan, apa tingkat
kecerdasanku sudah berkurang? Mungkin aku harus meminjam kamus bahasa dari
perpustakaan nasional besok.
Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan?
Aku baru saja putus cinta dan lukaku masih menganga. Bagaimana mungkin secepat
ini Kau hadirkan lagi seorang pria yang menuntutku untuk mencintainya? Aku
pasti sudah pergi berlari sambil menangis jika saja kakiku tidak lecet karena
gesekan di kulit sepatu baru. Aku heran, mengapa kaki ku tak pernah bisa
bersahabat dengan kulit sepatu baru? Mengapa selalu saja menyebabkan lecet di
kaki ku?
Sepi. Aku
memilih tak bersuara. Kami memilih tak berkata-kata tapi langit tahu, bulan
tahu, Tuhan pun tahu bahwa masing-masing dari kami punya lebih dari sejuta
kalimat untuk di ucapkan. Tapi tak ada satupun dari kami yang masih begitu
berani untuk memulai pembicaraan. Entah aku harus bersyukur atau bersedih atas
hal ini, aku hampir tak peduli.
Aku bahkan tak berani untuk menatap
matanya, jadi kubenamkan saja wajahku dalam-dalam dalam mangkuk bakso di
hadapanku. Ah, lecet di kakiku semakin terasa perih dan panas sementara bakso
di mangkuk ku sudah hampir habis. Aku merasa pria di depanku sedang memandangku
lekat-lekat, menunggu jawaban atau mungkin sebuah kalimat atau bahkan suara
kecil dari mulut yang sudah ku kunci. Dan sayangnya kunci itu sudah ku telan
bersama bakso yang makan. Bagaimana nasibku setelah mangkok bakso ini kosong?
Kemana aku harus mencari perlindungan?
*** *** *** ***
Aku terkejut dengan ucapanku
sendiri. Rasanya seperti meriam yang terlontar tanpa rencana hanya karena
sebuah percikan api menyalakan sumbunya. Ingin kutampar bibirku yang begitu
lancang melontarkan kalimat yang bahkan tak pernah berani aku pikirkan. Wajahku
terasa panas dan gerakanku tiba-tiba saja kaku, sebentar lagi mungkin aku akan
pingsan.
Sebagai seorang pria, hidupku
tidaklah begitu mapan. Sekedar makan dan hidup seadanya, aku bekerja. Tak
banyak harta yang kupunya. Bahkan urusan wajah dan penampilanku pun tak bisa
dibilang mempesona. Ah, aku bahkan tak bisa di bilang biasa saja. Tapi soal
keberanian aku jagonya. Banyak wanita yang kutaklukan hanya dengan bermodalkan
kata-kata. Namun untuk yang satu ini, aku tak pernah melakukannya.
Dia wanita biasa yang ku kenal
sebagai salah satu dari teman kos ku, dia tinggal bersama dua orang teman
wanitanya. Tak sering kulihat dia duduk di ruang bawah, tempat kami berkumpul.
Sepulangnya dia bekerja, dia akan masuk ke kamar lalu keluar hanya untuk mandi.
Dan disetiap hari libur, dia akan pulang ke rumah orang tuanya.
Wanita pendiam dengan senyum yang
manis. Hanya itu yang dapat kutangkap dari kesehariannya. Dia bahkan seperti
tak peduli dengan banyaknya laki-laki yang mendekatinya. Sungguh kesempatan
yang istimewa bagiku karena dia bersedia jalan denganku, walau hanya makan di
sebuah warung bakso. Rasanya aku ingin terbang.
Ah, Tuhan, jika dia memang jodoh
yang Kau kirim kepadaku untuk menggantikan wanita yang sangat kucintai namun
meninggalkanku dan menikah dengan orang lain, maka segerakan dia menghabiskan
bakso di hadapannya dan ijinkan aku untuk tetap dapat menatap matanya yang
hitam dan bulat.

permainan point of view yang asyik... I enjoyed it!
BalasHapusthank you ^^
BalasHapus