Rabu, 09 Januari 2013

Lamaran!


            “Ayo kita menikah..”

Ujar pria di depanku tiba-tiba. Aku tersikap, tak siap dengan situasi seperti ini. Entah mengapa kalimat itu terdengar begitu asing bagiku. Rasanya hampir tak dapat ku mengerti. Terdengar seperti kalimat dalam bahasa lain yang tak pernah ku dengar sebelumnya, kalimat dari bahasa suatu kaum yang baru ditemukan oleh para ilmuan. Tuhan, apa tingkat kecerdasanku sudah berkurang? Mungkin aku harus meminjam kamus bahasa dari perpustakaan nasional besok.

             Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Aku baru saja putus cinta dan lukaku masih menganga. Bagaimana mungkin secepat ini Kau hadirkan lagi seorang pria yang menuntutku untuk mencintainya? Aku pasti sudah pergi berlari sambil menangis jika saja kakiku tidak lecet karena gesekan di kulit sepatu baru. Aku heran, mengapa kaki ku tak pernah bisa bersahabat dengan kulit sepatu baru? Mengapa selalu saja menyebabkan lecet di kaki ku?

            Sepi. Aku memilih tak bersuara. Kami memilih tak berkata-kata tapi langit tahu, bulan tahu, Tuhan pun tahu bahwa masing-masing dari kami punya lebih dari sejuta kalimat untuk di ucapkan. Tapi tak ada satupun dari kami yang masih begitu berani untuk memulai pembicaraan. Entah aku harus bersyukur atau bersedih atas hal ini, aku hampir tak peduli.

Aku bahkan tak berani untuk menatap matanya, jadi kubenamkan saja wajahku dalam-dalam dalam mangkuk bakso di hadapanku. Ah, lecet di kakiku semakin terasa perih dan panas sementara bakso di mangkuk ku sudah hampir habis. Aku merasa pria di depanku sedang memandangku lekat-lekat, menunggu jawaban atau mungkin sebuah kalimat atau bahkan suara kecil dari mulut yang sudah ku kunci. Dan sayangnya kunci itu sudah ku telan bersama bakso yang makan. Bagaimana nasibku setelah mangkok bakso ini kosong? Kemana aku harus mencari perlindungan? 

Tuhan, beri aku jawaban.

                                    ***      ***      ***      ***

Aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Rasanya seperti meriam yang terlontar tanpa rencana hanya karena sebuah percikan api menyalakan sumbunya. Ingin kutampar bibirku yang begitu lancang melontarkan kalimat yang bahkan tak pernah berani aku pikirkan. Wajahku terasa panas dan gerakanku tiba-tiba saja kaku, sebentar lagi mungkin aku akan pingsan.

Sebagai seorang pria, hidupku tidaklah begitu mapan. Sekedar makan dan hidup seadanya, aku bekerja. Tak banyak harta yang kupunya. Bahkan urusan wajah dan penampilanku pun tak bisa dibilang mempesona. Ah, aku bahkan tak bisa di bilang biasa saja. Tapi soal keberanian aku jagonya. Banyak wanita yang kutaklukan hanya dengan bermodalkan kata-kata. Namun untuk yang satu ini, aku tak pernah melakukannya.

Dia wanita biasa yang ku kenal sebagai salah satu dari teman kos ku, dia tinggal bersama dua orang teman wanitanya. Tak sering kulihat dia duduk di ruang bawah, tempat kami berkumpul. Sepulangnya dia bekerja, dia akan masuk ke kamar lalu keluar hanya untuk mandi. Dan disetiap hari libur, dia akan pulang ke rumah orang tuanya.

Wanita pendiam dengan senyum yang manis. Hanya itu yang dapat kutangkap dari kesehariannya. Dia bahkan seperti tak peduli dengan banyaknya laki-laki yang mendekatinya. Sungguh kesempatan yang istimewa bagiku karena dia bersedia jalan denganku, walau hanya makan di sebuah warung bakso. Rasanya aku ingin terbang.

Ah, Tuhan, jika dia memang jodoh yang Kau kirim kepadaku untuk menggantikan wanita yang sangat kucintai namun meninggalkanku dan menikah dengan orang lain, maka segerakan dia menghabiskan bakso di hadapannya dan ijinkan aku untuk tetap dapat menatap matanya yang hitam dan bulat.

2 komentar: