Sabtu, 26 Januari 2013

Hujan

Hujan baru saja usai, rintiknya yang lebat kemudian melambat. Diantara dinginnya yang masih tertinggal, aku menyelinap dalam balutan selimut dan secangkir teh hangat di teras rumah. Ku lemparkan pandangan jauh pada rimbunnya pohon-pohon hijau. Tiba-tiba ku lihat sesosok pria melintas diantara rumput ilalang kuning. Sejujurnya aku tak yakin benar apakah itu sosok pria atau perempuan. Hanya saja dari pakaiannya kurasa itu sosok pria. Setengah berlari dia melewati ilalang, telapak tangannya menyentuh ujung rumput tinggi itu. Aku memperhatikan langkahnya.

Hujan kembali datang. Semilir angin dingin berhembus, membawa percikan hujan menyapu wajahku. Gelas tehku yang tinggal setengah masih mengepulkan uapnya. Ku eratkan lilitan selimut di tubuhku. Entah pandanganku yang mengabur atau memang sosok itu yang mendekat, aku merasa ukuran sosok itu makin terlihat membesar. Ku tegakkan punggungku dan menunggu.

"Hai..." sapanya setelah sosok itu mendekat.


Dia seorang pria tinggi dan berkulit putih. Dia mengenakan celana pendek dan kaos. Wajahnya yg basah tersenyum saat menyapaku. Beberapa helai rambutnya menjuntai jatuh di dahinya yang lebar.

"Hai..." sapaku berusaha ramah, masih dalam balutan selimut.

"Hujan, mau ikut bersamaku? Rasanya menyenangkan." katanya bersemangat. Senyumnya cerah walau bajunya basah.

"Dingin..." jawabku pendek.

Pria itu mendesah. Dia melompati pagar lalu menarikku keluar dari hangatnya balutan selimut, menuntunku menuruni tangga dan melintasi padang ilalang. Dia tertawa sambil terus menggenggam tanganku. Kami berhenti di tengah padang. Aku menggigil.

"Ini hujan. Tidakah kau menyukainya?" katanya sambil mengajakku menari di bawah hujan. Aku terpaksa mengikuti gerakkannya ke kanan kiri karena dia menggenggam tanganku. Akhirnya mau tak mau aku tersenyum. Aku sadar tingkahnya amatlah lucu untuk pria setampan dia.

--------

"Bajumu basah, kau tahu!" perempuan di depanku menatap marah.

"Ini hujan. Tidakkah kau menyukainya?" kataku tersenyum.

"Kau masih saja mengatakan hal itu. Sudahlah berhenti melakukannya." katanya lagi, menandangku tak sabar.

"Aku menyukainya sejak dia menyadarkanku tentang bagaimana menikmati hujan."

"Tapi pria itu sudah meninggal, tidakkah kau merelakan kepergiannya?"

"Dia memang sudah pergi tapi tidak dengan kenangan kami." kataku tersenyum. Di luar masih hujan dan kebahagiaanku datang bersama semilir angin dingin yang basah dan kenangan tentang dia dan senyumnya yang manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar