Wahid, anak
laki-laki kurus (10) terlahir dengan suara yang istimewa. Cadel. Lahir dalam
keluarga besar yang religius. Ayahnya, Abdul, adalah guru mengaji kampung yang
terkenal keras dan tegas. Sedang ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Wahid
adalah sulung dari enam bersaudara.
Wahid tidak pernah peduli meski sering
diolok-olok oleh teman-teman karena suaranya. Satu-satunya yang membuat gelisah
adalah ayahnya sendiri. Wahid selalu merasa tidak nyaman jika berdekatan dengan
ayahnya. Kegagalannya dalam melafal salah satu huruf hijaiyah membuat
hubungannya dengan sang ayah merenggang. Meski sudah sering berlatih, Wahid
belum juga berhasil melafal huruf ‘Ra’. Lidahnya selalu kalah dan hanya sanggup
mengeluarkan bunyi ‘Wlo’ yang terdengar canggung. Dia kecewa karena ayahnya
tidak pernah bisa menerima kondisinya.
Abdul
(35) selalu saja gelisah tiap kali memikirkan Wahid. Sikapnya yang keras bukan berarti
tidak sayang kepada anak, namun reputasinya dipertaruhkan sebagai seorang guru
mengaji yang selalu menuntut kesempurnaan bacaan kitab suci kepada
murid-muridnya. Pak Abdul sempat beberapa kali lepas kendali saat mengajar
Wahid yang disebutnya 'bebal'.
Siti
(32) tidak pernah lelah memberi pengertian kepada suaminya agar melembutkan
suaranya saat mengajar Wahid. Meski sibuk mengurus kelima anaknya yang lain,
Siti selalu berusaha menyempatkan diri menemani Wahid saat belajar. Dia hanya ingin
memastikan agar Wahid tidak menjadi sasaran kekesalan Abdul.
Kekecewaan
Wahid makin bertambah saat ayahnya melayangkan pukulan dengan kopiah kepadanya
karena kembali gagal melafal huruf ‘Ra’. Wahid berhasil meghindar kala itu namun
dia tidak memperhitungkan saat ayahnya bangkit berdiri dan melayangkan sajadah
ke arahnya. Tangan kecil Wahid berhasil menangkap sajadah itu pada kesempatan
yang kedua, namun saat itu hatinya terluka sangat dalam. Wahid tidak peduli
lagi. Dia kabur.
Abdul
sangat merasa bersalah setelah kejadian itu. Dia berkeliling dari satu kampung
ke kampung yang lain mencari Wahid. Sedangkan Siti terus menerus menangis
hingga membuat tubuhnya sakit. Azzam (9) yang juga bersuara cadel namun tidak
pernah menemui kesulitan dalam melafal huruf ‘Ra’ juga merasa bersalah atas
perginya Wahid. Diam-diam sepulang sekolah dia mengajak dua orang temannya
untuk mencari Wahid.
Saat
kepergiannya dari rumah, Wahid tidak memikirkan apapun selain mencari seseorang
yang bisa mengajarinya melafal huruf ‘Ra’. Dia berpindah dari satu mushala ke
mushala yang lain, dari masjid yang satu ke masjid yang lain, dari satu kampung
ke kampung yang lain. Agar tidak dikenali, Wahid mengganti namanya menjadi
‘Musa’, nama yang diambil dari kata musafir. Meski kecewa dengan perlakuan
ayahnya, Wahid tetap ingin memberinya senyum kebanggaan.
Disetiap
masjid dan mushala yang dia datangi, Wahid tidak pernah malas membantu marbot
untuk menjaga kebersihan masjid. Dia menyikat lantai dengan penuh semangat,
menyapu daun-daun kering di halaman sampai melafal shalawat dan ayat-ayat suci
Al Quran, menjemur karpet-karpet dan bahkan mencuci mukena. Wahid melakukan
apapun untuk mengalihkan kesedihannya yang belum mampu melafal ‘Ra’ dengan
benar.
Ahmad
(60) sangat heran saat pertama kali bertemu dengan Wahid. Di matanya Wahid
terlihat sangat bersih, wajahnya lebih mirip orang arab dengan mata berwarna
cokelat terang, kulit putih dan rahang yang kuat. Ahmad mulai mendekati Wahid
dan bertanya tentang tujuannya menyinggahi mushala dan masjid-masjid. Mendengar
cerita Wahid, Ahmad tergerak untuk membantunya. Ahmad meminta bantuan kepada
Samir (50) dan Ilham (54) yang merupakan guru mengaji di kampung sebelah untuk
ikut mengajar Wahid.
Delapan
bulan sudah berlalu setelah Wahid pergi dari rumah dan Abdul masih terus
mencarinya. Namun tidak ada satu pun petunjuk tentang keberadaan Wahid.
Sedangkan Azzam sudah berhenti mencari Wahid karena Abdul melarangnya keluar
rumah selepas sekolah.
Di suatu
kampung Abdul beristirahat di sebuah masjid setelah seharian mencari Wahid.
Waktu dzuhur sudah lewat sekitar setengah jam yang lalu. Abdul bergegas masuk
ke bilik wudhu dan sholat. Karena kelelahan, Abdul terlelap saat dia tengah
berdoa.
Abdul
terbangun saat sayup-sayup terdengar suara seorang anak laki-laki mengaji
dengan begitu merdu. Mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Quran itu, Abdul
justru menangis karena mengingat Wahid. Dia menyesal karena telah berlaku degan
begitu keras kepad putra sulungnya itu. Dalam hati dia berjanji akan menahan
emosinya kepada Wahid. Dia berjanji akan menerima Wahid dengan apa adanya.
Abdul
mendekati anak laki-laki yang tidak dikenalinya sebagai wahid dan duduk sekitar
dua hasta di belakangnya. Celananya basah oleh air mata. Dadanya terasa sakit
karena sesak menahan kesedihan. Hingga tanpa sadar Abdul mulai terisak.
Wahid
berhenti mengaji karena mendengar suara seseorang yang sedang menangis. Dia
kaget saat menengok ke belakang dan mendapati bahwa yang duduk di belakangnya
dan sedang menangis adalah Abdul yang merupakan ayahnya. Wahid berseru
memanggil Abdul seraya memeluknya. Abdul kaget mengetahui bahwa anak laki-laki
yang memiliki suara merdu itu adalah putranya yang kabur dari rumah.
Abdul
memeluk Wahid dengan erat seraya berjanji tidak akan berlaku kasar lagi kepadanya.
Wahid meminta maaf kepada ayahnya karena telah menyusahkan dan bersikap kurang
sopan karena pergi tanpa pamit. Wahid menceritakan kepada Abdul tentang
orang-orang yang telah membantunya untuk melafalkan ‘Ra’ dengan benar dan
jelas.
Wahid
mengenalkan Abdul kepada Ahmad, Ilham dan Samir sekaligus berpamitan untuk
pulang. Abdul berterima kasih kepada guru-guru yang telah membantu putranya
belajar. Abdul dan Wahid pulang. Keluarga Abdul akhirnya dapat utuh kembali.
Tamat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar