Selasa, 18 Oktober 2016

Sinopsis: Suara Wahid




Wahid, anak laki-laki kurus (10) terlahir dengan suara yang istimewa. Cadel. Lahir dalam keluarga besar yang religius. Ayahnya, Abdul, adalah guru mengaji kampung yang terkenal keras dan tegas. Sedang ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Wahid adalah sulung dari enam bersaudara.

       Wahid tidak pernah peduli meski sering diolok-olok oleh teman-teman karena suaranya. Satu-satunya yang membuat gelisah adalah ayahnya sendiri. Wahid selalu merasa tidak nyaman jika berdekatan dengan ayahnya. Kegagalannya dalam melafal salah satu huruf hijaiyah membuat hubungannya dengan sang ayah merenggang. Meski sudah sering berlatih, Wahid belum juga berhasil melafal huruf ‘Ra’. Lidahnya selalu kalah dan hanya sanggup mengeluarkan bunyi ‘Wlo’ yang terdengar canggung. Dia kecewa karena ayahnya tidak pernah bisa menerima kondisinya.

            Abdul (35) selalu saja gelisah tiap kali memikirkan Wahid. Sikapnya yang keras bukan berarti tidak sayang kepada anak, namun reputasinya dipertaruhkan sebagai seorang guru mengaji yang selalu menuntut kesempurnaan bacaan kitab suci kepada murid-muridnya. Pak Abdul sempat beberapa kali lepas kendali saat mengajar Wahid yang disebutnya 'bebal'.

            Siti (32) tidak pernah lelah memberi pengertian kepada suaminya agar melembutkan suaranya saat mengajar Wahid. Meski sibuk mengurus kelima anaknya yang lain, Siti selalu berusaha menyempatkan diri menemani Wahid saat belajar. Dia hanya ingin memastikan agar Wahid tidak menjadi sasaran kekesalan Abdul.

            Kekecewaan Wahid makin bertambah saat ayahnya melayangkan pukulan dengan kopiah kepadanya karena kembali gagal melafal huruf ‘Ra’. Wahid berhasil meghindar kala itu namun dia tidak memperhitungkan saat ayahnya bangkit berdiri dan melayangkan sajadah ke arahnya. Tangan kecil Wahid berhasil menangkap sajadah itu pada kesempatan yang kedua, namun saat itu hatinya terluka sangat dalam. Wahid tidak peduli lagi. Dia kabur.

            Abdul sangat merasa bersalah setelah kejadian itu. Dia berkeliling dari satu kampung ke kampung yang lain mencari Wahid. Sedangkan Siti terus menerus menangis hingga membuat tubuhnya sakit. Azzam (9) yang juga bersuara cadel namun tidak pernah menemui kesulitan dalam melafal huruf ‘Ra’ juga merasa bersalah atas perginya Wahid. Diam-diam sepulang sekolah dia mengajak dua orang temannya untuk mencari Wahid.

            Saat kepergiannya dari rumah, Wahid tidak memikirkan apapun selain mencari seseorang yang bisa mengajarinya melafal huruf ‘Ra’. Dia berpindah dari satu mushala ke mushala yang lain, dari masjid yang satu ke masjid yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain. Agar tidak dikenali, Wahid mengganti namanya menjadi ‘Musa’, nama yang diambil dari kata musafir. Meski kecewa dengan perlakuan ayahnya, Wahid tetap ingin memberinya senyum kebanggaan.

            Disetiap masjid dan mushala yang dia datangi, Wahid tidak pernah malas membantu marbot untuk menjaga kebersihan masjid. Dia menyikat lantai dengan penuh semangat, menyapu daun-daun kering di halaman sampai melafal shalawat dan ayat-ayat suci Al Quran, menjemur karpet-karpet dan bahkan mencuci mukena. Wahid melakukan apapun untuk mengalihkan kesedihannya yang belum mampu melafal ‘Ra’ dengan benar.

            Ahmad (60) sangat heran saat pertama kali bertemu dengan Wahid. Di matanya Wahid terlihat sangat bersih, wajahnya lebih mirip orang arab dengan mata berwarna cokelat terang, kulit putih dan rahang yang kuat. Ahmad mulai mendekati Wahid dan bertanya tentang tujuannya menyinggahi mushala dan masjid-masjid. Mendengar cerita Wahid, Ahmad tergerak untuk membantunya. Ahmad meminta bantuan kepada Samir (50) dan Ilham (54) yang merupakan guru mengaji di kampung sebelah untuk ikut mengajar Wahid.

            Delapan bulan sudah berlalu setelah Wahid pergi dari rumah dan Abdul masih terus mencarinya. Namun tidak ada satu pun petunjuk tentang keberadaan Wahid. Sedangkan Azzam sudah berhenti mencari Wahid karena Abdul melarangnya keluar rumah selepas sekolah.

            Di suatu kampung Abdul beristirahat di sebuah masjid setelah seharian mencari Wahid. Waktu dzuhur sudah lewat sekitar setengah jam yang lalu. Abdul bergegas masuk ke bilik wudhu dan sholat. Karena kelelahan, Abdul terlelap saat dia tengah berdoa.

            Abdul terbangun saat sayup-sayup terdengar suara seorang anak laki-laki mengaji dengan begitu merdu. Mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Quran itu, Abdul justru menangis karena mengingat Wahid. Dia menyesal karena telah berlaku degan begitu keras kepad putra sulungnya itu. Dalam hati dia berjanji akan menahan emosinya kepada Wahid. Dia berjanji akan menerima Wahid dengan apa adanya.

            Abdul mendekati anak laki-laki yang tidak dikenalinya sebagai wahid dan duduk sekitar dua hasta di belakangnya. Celananya basah oleh air mata. Dadanya terasa sakit karena sesak menahan kesedihan. Hingga tanpa sadar Abdul mulai terisak.

            Wahid berhenti mengaji karena mendengar suara seseorang yang sedang menangis. Dia kaget saat menengok ke belakang dan mendapati bahwa yang duduk di belakangnya dan sedang menangis adalah Abdul yang merupakan ayahnya. Wahid berseru memanggil Abdul seraya memeluknya. Abdul kaget mengetahui bahwa anak laki-laki yang memiliki suara merdu itu adalah putranya yang kabur dari rumah.

            Abdul memeluk Wahid dengan erat seraya berjanji tidak akan berlaku kasar lagi kepadanya. Wahid meminta maaf kepada ayahnya karena telah menyusahkan dan bersikap kurang sopan karena pergi tanpa pamit. Wahid menceritakan kepada Abdul tentang orang-orang yang telah membantunya untuk melafalkan ‘Ra’ dengan benar dan jelas.

            Wahid mengenalkan Abdul kepada Ahmad, Ilham dan Samir sekaligus berpamitan untuk pulang. Abdul berterima kasih kepada guru-guru yang telah membantu putranya belajar. Abdul dan Wahid pulang. Keluarga Abdul akhirnya dapat utuh kembali. Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar