Minggu, 10 Januari 2016

Bukankah Seharusnya Kamu, Tahu?

Sabtu pagi dan aku sudah sibuk mengelompokkan potongan-potongan kain chiffon, satin, taffeta, organdi dan beberapa jenis kain lainnya. Banyaknya tumpukkan kain yang belum sempat diolah menjadi kerajinan tangan membuatku memutuskan untuk menjual saja kain-kain tersebut.

Udara masih cukup dingin dan aku belum memutuskan untuk mandi, meski perut sudah penuh terisi. Oke ini memang tidak sehat, tapi apa peduliku? Toh ini tidak terjadi setiap hari.


Ponselku berdering. Sebuah pesan salah satu media sosial muncul di layar ponsel. Ku sambar ponsel dan membuka pesannya.

Deg!

"Pesan seperti apa ini?" batinku bicara.

Aku menghela nafas seraya meletakkan ponselku.


"Benarkah dihari sepagi ini dia harus bertanya tentang hal itu? Apa pentingnya? Tidakkah dia mempunyai kegiatan yang membuatnya sibuk sepanjang hari?"


Aku memandang tumpukkan gulungan kain tak jauh dariku. Aku pikir setelah menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan dan mencoba untuk terus memperbaiki diri, hidupku akan berjalan baik-baik saja seperti sebelumnya. Ternyata aku tidak memprediksi hal-hal yang di luar dugaan yang hampir saja membuat semangatku hilang, seperti hari ini.

Jika saja Tuhan berkenan mempertemukan kami suatu hari nanti, ingin sekali aku mengatakan padanya..


"Aku minta maaf jika ternyata hingga detik ini aku masih sering menyusahkanmu. Membuatmu lelah dengan memikirkan masa depanku. Sekali lagi aku minta maaf karena aku masih belum dapat mewujudkan janjiku untuk menghilang dari hidupmu. Maaf karena aku pernah berjanji itu."

"Kamu tahu mengapa aku tidak menjawab pesanmu saat itu? Aku minta maaf jika keputusanku saat itu membuatmu tidak nyaman atau kesal, tapi jujur saja aku memang tidak berniat menjawab pertanyaanmu. Lagi pula apa pedulimu tentang apa yang terjadi dalam hidupku? Bukankah kita sudah memilih untuk menjalani hidup kita masing-masing?"

"Tidakkah kau ingat saat aku menanyakan kesungguhan keputusan yang kau ambil dulu itu? Kau terdengar sangat bersungguh-sungguh dengan keputusan itu hingga rasanya tidak akan ada sesuatu apapun yang mungkin dapat mengubah hal tersebut. Apa yang aku lakukan kemudian hanya dikarenakan aku menghormati keputusanmu. Aku tidak ingin lagi membuatmu susah dengan kehadiranku. Itu janjiku."

"Meski kesedihan dan rasa sesak di dadaku kala itu hampir membuat sulit bernafas, hanya satu yang aku yakini: jika sesuatu terjadi padaku, itu adalah pertanda bahwa Tuhan telah bersedia menyertaiku dengan ridho-NYA dalam menjalani hari-hari selanjutnya."

"Jadi kemudian aku berkata pada diriku sendiri: Jika Tuhan telah mempercayakan sesuatu terjadi padamu, maka mengapa kau masih harus bertanya mengapa hal itu terjadi? Mengapa tidak kau jalani saja sebaik-baiknya?"

"Mungkin aku sedikit kurang sopan, tapi jika kau masih berkenan aku ingin meminta sesuatu kepadamu. Tolong biarkan aku menjalani hidupku dan aku akan terus mendoakanmu saat kau menjalani hidupmu. Itu saja.."


Ponselku berdering lagi, sebuah pesan lain di media sosial kembali muncul di layar.

"Cuy, isiin pulsa dong"

2 komentar: