1963.
Andai pagi ini ayam
jantan tetangga sebelah masih terlelap dalam tidurnya dan matahari tak bersinar
terlalu cepat, mungkin aku masih bisa menyelipkan tangan kecilku di bakul nasi.
Tak apa bahkan jika yang kutemui hanya kerak dari sisa makan semalam.
Andai kemarin senja
datang lebih cepat bersama bulan dan kegelapan malam saat perutku belum terlalu
keras berteriak dan memanggil siapa saja yang berjarak satu meter dari tubuhku,
mungkin aku masih bisa menyelinap dan mencicipi apa yang seharusnya mereka
sisakan untukku, Dan jika itu terjadi,
mungkin saat ini aku masih bisa merayap dan menemukan sebuah jalan terang.
Tapi sekali-kali tidak.
Yang mereka sisakan untukku hanya udara!
Tini, gadis kecil
berusia delapan tahun, bertubuh kecil dengan kulit yang menghitam akibat sering berjalan dibawah matahari
siang, hanya bisa pasrah dan menunggu mati. Kelopak matanya terpejam, namun
tulang rahangnya menegang. Menahan suara agar tetap tercekat di panggal
tenggorokannya. Seorang perempuan tua berusia lebih dari empat puluh tahun,
asik melayangkan pukulan ke tubuh gadis kecil itu.
Dapur sesak dan gelap
berlantai tanah itu penuh dengan suara
pukulan gagang sapu ke tubuh kecil tak bergerak di antara meja dan tungku
masak. Beberapa pasang mata ukuran kecil mengintip di balik gorden pintu dapur.
Menyaksikan sebuah adegan yang bagai tak akan berkesudah.
“Mati! Mati!” jerit
seorang laki-laki tua bersuara berat saat memasuki ruangan.
"Dia pantas mendapatkan hal itu. Dia mencuri kopra ku! Kopra ku!" sembur perempuan tua.
"Kopra.. Kopra.. Kopra.. Hanya itu kah yang ada di pikiran mu? Kau hampir saja merenggut sebuah nyawa hanya demi kopramu yang tak berharga!"
"Aku tidak sudi membesarkan seorang pencuri!" teriak perempuan tua itu lagi.
"Bagaimana
dia tidak menjadi seorang pencuri jika kau tidak pernah mengajarkannya tentang
makna berbagi?" geram laki-laki tua itu
Dengan
Tini berada dalam pelukannya, laki-laki tua pergi meninggalkan dapur kecil dan
pengap berisi adegan pahit. Matanya panas, tubuhnya bergetar. Andai saja
beberapa menit tetap berjalan tanpa kehadirannya, mungkin yang akan ia tenemui
hanyalah jasad seorang gadis kecil berkulit gelap.
Laki-laki
tua duduk di sebauh kursi goyang, memperhatikan Tini, gadis kecil berkulit
gelap yang tenah memakan makanannya. Gerakan tangannya teratur tanpa sedikit
pun terburu. Sesekali tanagn kecilnya meraih gelas yang terletak tak jauh di
tempatnya duduk.
“Nduk..”
panggilnya tiba-tiba. Tini mendongak.
“Tinggal
disini sama si mbah mau?” Tanyanya kemudian.
Lama, Tini
terdiam menatap laki-laki tua di kursi goyang. Lalu dia menggeleng.
“Tini
mau pulang, Mbah..” ujarnya lalu melanjutkan makan.
Terik
mentari siang seakan hendak membakar segala yang ada dalam jangkauannya.
Laki-laki tua di kursi goyang hanya menatap nanar pada gadis kecil berkulit
gelap. Diam-diam berdoa pada Tuhan agar dia masih sanggup melindungi gadis itu.
2015.
Langit
sepertinya tak merasakan duka. Warna birunya yang cerah dengan lukisan awan
yang berarak pelan, terlihat di sejauh mata memandang. Semilir angin
menghembuskan kesejukan diantara gemerisik daun di dahan pohon-pohon nan
rindang. Burung-burung gereja berkicau riang seraya menari kesana kemari.
Seorang
perempuan tua msih berdiri di tempatanya. Sendirian. Air mata menganak sungai
di pipinya yang tirus dan keriput. Bibirnya tak henti bergerak-gerak lemah. Entah
apa yang tengah memenuhi pikirannya. Tak peduli pada gaunnya yang terus saja bersuara
ribut.
Di
hadapannya, sebuah kuburan dengan tanah yang masih merah dan bunga yang masih
segar.
“Mbok,
maafkan Tini. Maafkan karena Tini pernah mencuri kopra. Mencuri kopra. Kopra...”
ujarnya di sela isak tangisnya.

sedih...
BalasHapuspenyesalan tinggallah penyesalan.