Jumat, 22 Mei 2015

Kopra



1963.

Andai pagi ini ayam jantan tetangga sebelah masih terlelap dalam tidurnya dan matahari tak bersinar terlalu cepat, mungkin aku masih bisa menyelipkan tangan kecilku di bakul nasi. Tak apa bahkan jika yang kutemui hanya kerak dari sisa makan semalam.

Andai kemarin senja datang lebih cepat bersama bulan dan kegelapan malam saat perutku belum terlalu keras berteriak dan memanggil siapa saja yang berjarak satu meter dari tubuhku, mungkin aku masih bisa menyelinap dan mencicipi apa yang seharusnya mereka sisakan untukku, Dan  jika itu terjadi, mungkin saat ini aku masih bisa merayap dan menemukan sebuah jalan terang.

Tapi sekali-kali tidak. Yang mereka sisakan untukku hanya udara!

Tini, gadis kecil berusia delapan tahun, bertubuh kecil dengan kulit yang menghitam  akibat sering berjalan dibawah matahari siang, hanya bisa pasrah dan menunggu mati. Kelopak matanya terpejam, namun tulang rahangnya menegang. Menahan suara agar tetap tercekat di panggal tenggorokannya. Seorang perempuan tua berusia lebih dari empat puluh tahun, asik melayangkan pukulan ke tubuh gadis kecil itu.

Dapur sesak dan gelap berlantai tanah  itu penuh dengan suara pukulan gagang sapu ke tubuh kecil tak bergerak di antara meja dan tungku masak. Beberapa pasang mata ukuran kecil mengintip di balik gorden pintu dapur. Menyaksikan sebuah adegan yang bagai tak akan berkesudah.

“Mati! Mati!” jerit seorang laki-laki tua bersuara berat saat memasuki ruangan.

"Apa yang kau lakukan? Tahu kah bahwa kau bisa saja membunuhnya?" teriak laki-laki tua itu seraya menarik tubuh kecil Tini ke pelukannya.

"Dia pantas mendapatkan hal itu. Dia mencuri kopra ku! Kopra ku!" sembur perempuan tua.

"Kopra.. Kopra.. Kopra.. Hanya itu kah yang ada di pikiran mu? Kau hampir saja merenggut sebuah nyawa hanya demi kopramu  yang tak berharga!"

"Aku tidak sudi membesarkan seorang pencuri!" teriak perempuan tua itu lagi.

"Bagaimana dia tidak menjadi seorang pencuri jika kau tidak pernah mengajarkannya tentang makna berbagi?" geram laki-laki tua itu

Dengan Tini berada dalam pelukannya, laki-laki tua pergi meninggalkan dapur kecil dan pengap berisi adegan pahit. Matanya panas, tubuhnya bergetar. Andai saja beberapa menit tetap berjalan tanpa kehadirannya, mungkin yang akan ia tenemui hanyalah jasad seorang gadis kecil berkulit gelap.



Laki-laki tua duduk di sebauh kursi goyang, memperhatikan Tini, gadis kecil berkulit gelap yang tenah memakan makanannya. Gerakan tangannya teratur tanpa sedikit pun terburu. Sesekali tanagn kecilnya meraih gelas yang terletak tak jauh di tempatnya duduk.

“Nduk..” panggilnya tiba-tiba. Tini mendongak.

“Tinggal disini sama si mbah mau?” Tanyanya kemudian.

Lama, Tini terdiam menatap laki-laki tua di kursi goyang. Lalu dia menggeleng.

“Tini mau pulang, Mbah..” ujarnya lalu melanjutkan makan.

Terik mentari siang seakan hendak membakar segala yang ada dalam jangkauannya. Laki-laki tua di kursi goyang hanya menatap nanar pada gadis kecil berkulit gelap. Diam-diam berdoa pada Tuhan agar dia masih sanggup melindungi gadis itu.



2015.

Langit sepertinya tak merasakan duka. Warna birunya yang cerah dengan lukisan awan yang berarak pelan, terlihat di sejauh mata memandang. Semilir angin menghembuskan kesejukan diantara gemerisik daun di dahan pohon-pohon nan rindang. Burung-burung gereja berkicau riang seraya menari kesana kemari.

Seorang perempuan tua msih berdiri di tempatanya. Sendirian. Air mata menganak sungai di pipinya yang tirus dan keriput. Bibirnya tak henti bergerak-gerak lemah. Entah apa yang tengah memenuhi pikirannya. Tak peduli pada gaunnya yang terus saja bersuara ribut.

Di hadapannya, sebuah kuburan dengan tanah yang masih merah dan bunga yang masih segar.

“Mbok, maafkan Tini. Maafkan karena Tini pernah mencuri kopra. Mencuri kopra. Kopra...” ujarnya di sela isak tangisnya.

1 komentar: