Kamis, 01 Agustus 2013

Pandawa Negeri Cahaya

Aku menangis dalam diam. Mataku sembab akibat air mata semalam. Kasihku pergi, kasihku hilang. Aku terjerembab dalam kebingungan. Oh Tuhan, kuatkan aku dalam menjalani takdirMu. Aku rela atas kehendakMu.

Langit senja menyelimuti tubuhku yang lelah dan lemah. Cahaya jingga nan lembut membuat segalanya tampak keemasan dan indah. Semburat merah di ufuk barat bagai permadani yang membawaku melintasi bumi. Anganku melangkah memasuki dunia lain, tanah diantara cahaya.

Ku hirup lagi udara senja di tanah tempatku berpijak. Tubuhku mulai ringan. Sebuah beban berat seakan terangkat dari dadaku yang sejak tadi sesak. Gemerisik dedaunan tersapu angin menyapa telingaku bagai melodi indah negeri Sakura. Dapatkan kutemui para Dewa?


Rambut panjangku yang terurai melayang ditiup angin. Mengambang diantara kehampaan. Langkah-langkah itu telah lama pergi. Lantunan doa pun telah lama usai. Sedang aku masih berpijak disini. Ah, aku sudah terlalu lama diam dalam kehampaan. Inikah saatnya aku berlari?

Mendung mulai memayungi bumiku. Langit kelabu dan awan hitam membawa angin dingin dan ribut. Dedauan gugur terangkat dan terbang meliuk-liuk. Bak tarian ular di perut gunung, membuat pusaran tinggi dan cepat. Mataku kabur dimasuk debu.

Kulihat sesosok tubuh seakan keluar dari pusaran angin itu. Pria dengan badan tinggi dan tegap, berbaju putih dengan senyum yang menenangkan hati. Langkahnya panjang dan anggun, langsung menuju ke arahku. Tak mengenalinya, aku mundur selangkah.

"Assalamuallaikum.." sapa pria tinggi besar itu.

"Waalaikumsalam.." jawabku ragu.

"Sudah usai. Tugasmu telah selesai." katanya lagi.

Dahiku berkerut. Tak mengerti setiap kata yang diucapannya. Pria itu tersenyum lalu mengangkat tangannya dengan anggun. Dadaku tiba-tiba terasa sakit, kepalaku pusing. Kakiku bagai masuk di telan bumi. Limbung. Aku butuh pegangan. Lalu tiba-tiba semuanya gelap.

* * * * - - - - * * * *

Aku tertunduk lesu. Orang tuaku terus menangis tersedu-sedu. Bahu mereka lemah, tak seperti biasanya. Antara malu, sedih dan kecewa beberapa kali mereka melirik ke arahku. Aku memang salah. Aku telah berdosa. Aku tak pantas berada di Negeri Para Dewa. Aku menggantungkan hidupku seperti makhluk di alam fana.

Aku seharusnya tak datang ke Pesta Para Dewa. Tak pantas untuk ku berada disana. Namun, besarnya keingintahuanku membuatku berani mencuri gaun seorang dewi. Melangkah percaya diri diantara taburan serbuk bahagia para peri. Tersenyum manis mengundang tanya, memikat dewa.

Lalu cinta. Episode indah namun terlarang untuk ku. Takdirku adalah melayani yang telah tercipta, bukan memilih seorang dewa. Aku telah kalah oleh nafsu. Aku telah fana.

"Wahai Peri Elsker!" sebuah suara seorang pria tua di altar besar menggema hingga langit bergetar.

"Mulai saat ini, kau akan menjalani hukumanmu di bumi. Menjalani hidup bersama makhluk fana. Carilah cinta seorang manusia. Temani hingga akhir hayatnya. Dan saat dia telah tiada, kau akan kembali ke Negeri Para Dewa!"

Tubuhku tiba-tiba terasa ringan. Aku melayang dalam jurang dalam dan panjang. Keputusan akan hukumanku berdentam-dentam di telingaku. Dalam kepasrahan air mataku mengalir deras. Rasa sakit memenuhi dadaku. Oh Tuhan, tabahkan orang tuaku. Dan sebelum aku dapat melihat mereka, semuanya gelap.

* * * * - - - - * * * *

Aku terbangun dengan kepala berat dan tulang yang seakan baru tumbuh semalam. Aku berada di sebuah ruangan berwarna kuning pucat. Bau harum nan lembut memenuhi hidungku, entah dari mana asalnya. Ku pejamkan mataku, menghalau semua rasa sakit itu. Tak pernah ku rasa seperti ini sebelumnya.

Lalu tiba-tiba pintu terkuak. Seorang laki-laki muda memasuki ruangan sambil membawa baki. Dia tersenyum padaku.

"Jangan!" katanya tiba-tiba sambil berlari ke arahku saat aku mencoba untuk duduk.

"Berbaringlah, kau pingsan selama tiga hari. Kepalamu pasti masih pusing." kata laki-laki itu.

Hari-hariku selanjutnya berlalu bersama laki-laki itu. Banyak hal yang ku pelajari darinya. Namun semuanya seakan menjadi yang pertama untukku. Entah mengapa aku tak ingat apa pun tentang hidupku sebelumnya. Bagaimana bisa?

Dengan sabar dia membimbingku dalam segala hal. Hingga akhirnya aku belajar memahami dirinya. Luka di hatinya karena gadis yang dicintainya telah pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Dan betapa kehampaan telah menjadi teman setianya.

Belajar tentang diri kami masing-masing pada akhirnya membuat kami terikat satu sama lain. Kebutuhan untuk selalu bersama membuat kami memutuskan meresmikan mutiara kasih yang kami jalin berdua. Aku hidup bersamanya.

* * * * - - - - - * * * *

Semua episode kehidupan itu berkelebat di mataku bagai sebuah film yang dapat ku lihat di dalam kepalaku. Tiba-tiba menyadari inilah alasan mengapa aku tak ingat apapun. Lalu laki-laki itu?

Lalu kulihat lagi saat dimana aku mengandung buah hati kami. Laki-laki mungil yang membuat hari-hari kami lebih sempurna. Saat kami berlari diantara pasir dan ombak yang berderai di bibir pantai. Saat putra kecil kami tumbuh menjadi remaja bahagia yang pada akhirnya menjadikannya seorang pemuda penuh cinta.

Lalu bagian dimana putra kecil kami akhirnya memutuskan untuk merajut kebahagiaan bersama gadis yang dicintainya. Lahirnya putra pertama mereka. Aku masih bersama laki-laki ku yang dulu. Lalu tiba-tiba semuanya berhenti.

Pandanganku yang sedari mengabut, perlahan mulai fokus dan jelas. Seperti puzzle yang menyatu setelah tercerai berai. Tiba-tiba aku tersadar tentang siapa aku sebenarnya dan alasan mengapa semuanya menjadi "yang pertama" bagiku.

Jadi dialah penebus dosaku? Penebus kesalahanku? Dialah yang menjadi Pandawa Negeri Cahaya? Manusia fana yang memenuhi hukuman para peri? Laki-laki ku itu?

Lagi, aku teringat bagaimana caranya bicara, caranya tersenyum padaku. Kelembutannya saat menyentuhku, caranya menggenggam tanganku saat kami berjalan di setiap sore. Lalu air mataku mengembang. Pandanganku kembali samar. Air mataku jatuh.

Ku pandangi pusara suami ku. Kaki ku lemas. Aku terjatuh dan tersedu. Betapa aku sangat mencintainya. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku sedang separuh dari jiwaku telah terkubur bersama jasadnya? Bagaimana aku akan tetap merasa bahagia? Bagaimana aku akan tetap tinggal di Negeri Cahaya jika penyelamat hidupku tak lagi ada disisiku?

Ku sentuh tanah merah itu, seakan menyentuhnya. Ini waktuku. Hukumanku telah usai. Aku akan kembali ke negeriku. Pulang dan menjalani takdir yang telah tercipta untuk ku. Aku bangkit dari kesedihan yang memenuhi dadaku. Baru kusadari pakaianku telah berganti, gaun panjang sewarna gading, wajahku menjadi muda kembali, kulitku menjadi bersih kembali. Inikah tubuh seorang peri?

"Kau sudah siap?" tanya laki-laki tadi. Mataku tajam menatapnya. Aku mengangguk.

Langit membelah. Secercah cahaya indah yang menyilaukan keluar di antaranya. Aku mendongak. Terpana akan keindahannya. Tiba-tiba ada keinginan dalam hatiku yang mendesak untuk meraihnya.

"Ikuti aku." tubuh laki-laki itu melayang. Terbang. Aku bingung. Lalu...

Srett!!

Sepasang sayap putih dan besar mengembang di punggungku. Warnanya keperakan ditimpa cahaya. Bau harum menyebar dari keduanya. Aku tak tahu bagaimana cara menggunakannya tapi saat aku mendongak, sayapku mengepak. Tubuhku terangkat. Aku terbang.

"Aku akan tetap mencintaimu..." ucapku pelan. Aku pulang...


Setiap manusia adalah pandawa. Hidup penuh bahagia Negeri Cahaya. Hiduplah seperti peri penabur serbuk bahagia. Maka akan kita temui Pandawa Negeri Cahaya milik kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar