
Suatu sore sepulang kerja di bulan Ramadhan, saya melihat ibu saya duduk di teras sambil melamun. Tangannya sibuk menggerus bagian bawah kue yang terlihat agak hitam. Saya berjalan mendekatinya lalu duduk di hadapannya. Ternyata kue kering pesanannya gosong.
Saat itu kebetulan saya gak puasa, jadi saya comot satu potong. Hemh.. rasanya gak terlalu buruk, bathin saya kala itu. Lalu tangan saya seperti bergerak sendiri: memasukkan potongan-potongan kue gosong tadi ke dalam mulut. Walah! Sekejap saja loyang kue itu kosong. Saya nyengir ke ibu saya.
"Enak, Nek.." ujar saya pada ibu sambil tersenyum (nenek adalah panggilan saya kepada ibu).
Saya lalu beranjak masuk ke dalam rumah, mengambil toples lalu meyusun kue itu ke dalam toples.
"Ini jatah Ndah, ya.." ujar saya lagi sambil memeluk toples berisi kue gosong tadi.
Sampai saat ini, tak pernah ada satu pun kue gosong yang terbuang. Saat ada yang masak kue dan g-o-s-o-n-g maka saya adalah orang pertama yang diingat keluarga. Saya ini rakus atau apa sih? Haha.
Bagi saya, kue gosong punya arti tersendiri. Seperti hidup yang kadang terlihat amat sulit, ujian hidup yang terlihat tak bisa diatasi atau masalah yang terlihat rumit tak berujung, ternyata tak se-menyeramkan yang dibayangkan. Sepahit apapun, jika kita syukuri akan ada bagian yang membuat kita dapat mencicipi kenikmatan yang tersembunyi.
NB: Jika ada kue gosong di rumah, kawana dan kawani tau kan siapa yang harus di hubungi?hehehe

Tidak ada komentar:
Posting Komentar