Selamat sore..!!
Saat menulis ini saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah menggunakan moda transportasi ular a.k.a kereta listrik Commuter Line. Konon kereta yang saya naiki ini adalah salah satu dari 172 rangkaian kereta hibah dari Pemerintah Jepang, lho. Bangga atau malu? Gak usah dibahas lah yaa. Lanjut!!
Tulisan ini cuma buat ngisi waktu luang di kereta aja (gangguan antrian kereta di stasiun Gambir!). Dari pada tidur? Tul gak? Jadi sambil dengerin winamp di headset, biarkan jari-jari saya berbicara.
Bagi yang pernah membaca tulisan saya (cerpen di blog ini), pasti tau terdapat beberapa kata yang sangat sering saya ulang. Misalnya; hujan, kopi, malam, sendiri, langit, jalanan basah, gerimis atau diam. Ngeh gak? Hehehe. Jangan heran, karena memang seperti itulah saya.
Entah sejak kapan tepatnya saya mulai jatuh cinta pada kopi. Aromanya yang khas selalu berhasil membuat pikiran saya mengangkasa. Kadang sore, seringkali pagi, saya mengisi segelas besar kopi hitam tanpa gula di meja kerja saya. Lebih nikmat baik dalam suhu panas maupun dingin. Saya tidak peduli teman-teman menjuluki saya sebagai "Dukun". Hahaha.
Tak hanya meminum kopi, saya suka mengawali cerpen saya dengan kalimat "beraroma kopi" atau nge-tweet sesuatu yang berhubungan dengan kopi. Saya akan memejamkan mata sejenak, mengatur napas pelan dan teratur, membangun suasana. Rasanya seperti memasukkan separuh dari jiwa saya ke dalam cerita tersebut.
Aku hidup diantara kopi dan pagi dimana bulan terlambat pergi. Mimpi tentangmu yang datang semalam memenuhi ruang kenangan. Andai saja kau disini bersamaku, tak peduli pintu surga telah terbuka, aku akan memilih menghabiskan kopi ini.. bersamamu...

Lalu tentang malam. Banyak yang bisa saya gali dari malam, misalnya; purnama, bulan, bintang dan sepi. Saya senang melihat bintang saat malam, bukan untuk dihitung seperti scenekebanyakan film atau sinetron. Saya hanya menikmati kelip dan terangnya. Dulu, sewaktu saya masih bekerja dengan jadwal shift, saya sering memandang bintang sambil berkhayal. Konyol? Hahaha. Dan berjalan di saat malam, saya masih melakukannya hingga kini!
Hujan, gerimis atau jalanan yang basah mengingatkan saya pada kenangan masa kecil. Tinggal di sebuah kampung Betawi daerah pinggiran Kota Jakarta, membuat saya masa kecil saya terasa sempurna. Sepeda ria tiap sore, mandi di kali sambil nyari siput, pergi mengaji di mushala Bang Udin, manjat pohon kecapi, perang-perangan berpeluru bunga jambu di kebon, main layang-layang di pematang sawah, panen ikan di empang Kong Duloh, sampe maen hujan-hujanan bareng temen-temen adalah kenangan terindah dalam hidup saya. Bertemu teman-teman saya saat ini seringkali membuat kami tertawa tanpa harus bicara. Saat mata kami bertemu, kami akan ingat, betapa kami dulu adalah para petualang-petualang kampung yang bahagia! Dan hujan membantu saya mengingat semua kenangan itu. Ya Tuhan, betapa saya merindukan masa-masa itu..
Hujan. Aku akan tetap menyukainya. Sesering apapun dia datang..
Saat menulis ini saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah menggunakan moda transportasi ular a.k.a kereta listrik Commuter Line. Konon kereta yang saya naiki ini adalah salah satu dari 172 rangkaian kereta hibah dari Pemerintah Jepang, lho. Bangga atau malu? Gak usah dibahas lah yaa. Lanjut!!
Tulisan ini cuma buat ngisi waktu luang di kereta aja (gangguan antrian kereta di stasiun Gambir!). Dari pada tidur? Tul gak? Jadi sambil dengerin winamp di headset, biarkan jari-jari saya berbicara.
Bagi yang pernah membaca tulisan saya (cerpen di blog ini), pasti tau terdapat beberapa kata yang sangat sering saya ulang. Misalnya; hujan, kopi, malam, sendiri, langit, jalanan basah, gerimis atau diam. Ngeh gak? Hehehe. Jangan heran, karena memang seperti itulah saya.
Entah sejak kapan tepatnya saya mulai jatuh cinta pada kopi. Aromanya yang khas selalu berhasil membuat pikiran saya mengangkasa. Kadang sore, seringkali pagi, saya mengisi segelas besar kopi hitam tanpa gula di meja kerja saya. Lebih nikmat baik dalam suhu panas maupun dingin. Saya tidak peduli teman-teman menjuluki saya sebagai "Dukun". Hahaha.
Tak hanya meminum kopi, saya suka mengawali cerpen saya dengan kalimat "beraroma kopi" atau nge-tweet sesuatu yang berhubungan dengan kopi. Saya akan memejamkan mata sejenak, mengatur napas pelan dan teratur, membangun suasana. Rasanya seperti memasukkan separuh dari jiwa saya ke dalam cerita tersebut.
Aku hidup diantara kopi dan pagi dimana bulan terlambat pergi. Mimpi tentangmu yang datang semalam memenuhi ruang kenangan. Andai saja kau disini bersamaku, tak peduli pintu surga telah terbuka, aku akan memilih menghabiskan kopi ini.. bersamamu...

Lalu tentang malam. Banyak yang bisa saya gali dari malam, misalnya; purnama, bulan, bintang dan sepi. Saya senang melihat bintang saat malam, bukan untuk dihitung seperti scenekebanyakan film atau sinetron. Saya hanya menikmati kelip dan terangnya. Dulu, sewaktu saya masih bekerja dengan jadwal shift, saya sering memandang bintang sambil berkhayal. Konyol? Hahaha. Dan berjalan di saat malam, saya masih melakukannya hingga kini!
Hujan, gerimis atau jalanan yang basah mengingatkan saya pada kenangan masa kecil. Tinggal di sebuah kampung Betawi daerah pinggiran Kota Jakarta, membuat saya masa kecil saya terasa sempurna. Sepeda ria tiap sore, mandi di kali sambil nyari siput, pergi mengaji di mushala Bang Udin, manjat pohon kecapi, perang-perangan berpeluru bunga jambu di kebon, main layang-layang di pematang sawah, panen ikan di empang Kong Duloh, sampe maen hujan-hujanan bareng temen-temen adalah kenangan terindah dalam hidup saya. Bertemu teman-teman saya saat ini seringkali membuat kami tertawa tanpa harus bicara. Saat mata kami bertemu, kami akan ingat, betapa kami dulu adalah para petualang-petualang kampung yang bahagia! Dan hujan membantu saya mengingat semua kenangan itu. Ya Tuhan, betapa saya merindukan masa-masa itu..
Hujan. Aku akan tetap menyukainya. Sesering apapun dia datang..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar