Aku tercenung. Melihat gadis impianku menangis tersedu. Air matanya bagai semburan air mendidih di wajahku. Entah mengapa hatiku tiba-tiba sakit.
Tanganku mengambang di udara. Takut menyentuh tubuhnya yang belum halal untukku. Namun setiap isak tangisnya seperti mengiris tipis hatiku. Ku tatap lagi wajahnya. Mencari jawaban atas setiap air mata yang membasahi ppipinya. Betapa ingin ku menghapusnya, namun tak kan kuasa ku bendung amarahnya bila aku menyentuhnya.
Tuhan, bantu aku. Rangkul bahunya. Peluk jiwanya. Hapus air matanya. Doaku dalam hati.
"Dik.." kataku. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku. Susah payah dia tersenyum.
"Katakan padaku, kenapa?" tanyaku. Dia menggeleng.
"Aku takut, Bang." jawabnya lirih.
"Takut? Padaku?" dia menggeleng, aku bingung.
"Aku takut mengecewakanmu." katanya. Aku menatapnya ragu.
"Aku tidak seperti yang kau lihat." kutatap matanya. Mencoba mencari kebenaran yang tersimpan.
"Untuk semua yang ada ataupun tidak ada padamu, aku tetap ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu." jawabku.
Diam. Air matanya mengalir lagi. Namun isaknya menghilang di bawah wajahnya yang menunduk dalam-dalam. Aku hanya bisa melihat kerudungnya yang semakin basah. Sungguh aku bingung akan apa yang terjadi. Aku melamar gadis impianku, namun yang kudapatkan bukannya jawaban melainkan air mata!
"Dik.. Ada yang ingin kamu ceritakan pada Abang?" tanyaku ragu. Dia menatapku. Pandangan kami bertemu. Dadaku bergolak.
Gadis di hadapanku menarik napas dalam-dalam. Aku bersiap untuk jawabannya. Apapun itu.
Deg! Hatiku beku. Kata demi kata berubah menjadi tautan kalimat lembut nan lemah. Pengakuan gadis impianku membuatku sadar akan ketakutan yang dihadapinya saat ini. Di satu sisi, aku amat menginginkannya mendampingiku. Namun di sisi lain, aku pun harus mengerti tentang keadaannya.
Dengan wajah yang selalu ceria dan senyum yang tak pernah habis, aku tak menyangka jiwanya telah terluka teramat dalam. Kehormatannya hampir saja di renggut saat dia masih duduk di bangku sekolah. Dan yang lebih menyakitkan adalah karena perbuatan itu dilakukan oleh orang terdekatnya sendiri. Sungguh saat mendengarnya, aku ingin memeluknya.
"Beri aku waktu.." gadis di hadapanku mendongak, matanya memandangku lurus, ".. Untuk menyembuhkan lukamu.. Bersamaku.." tekadku bulat, aku tak akan meninggalkannya.
"Tapi aku..mungkin tidak bisa menjadi istri yang baik. Sungguh aku takut mengecewakanmu.." dia terisak lagi.
"Ijinkan ku jawab ketakutanmu di hadapan orangtua mu." ku sorongkan sapu tanganku padanya.
Pandangan kami bertemu. Dia mengambil sapu tanganku lalu menghapus air matanya sendiri. Tak lama kemudian, dia mengangguk..
Tanganku mengambang di udara. Takut menyentuh tubuhnya yang belum halal untukku. Namun setiap isak tangisnya seperti mengiris tipis hatiku. Ku tatap lagi wajahnya. Mencari jawaban atas setiap air mata yang membasahi ppipinya. Betapa ingin ku menghapusnya, namun tak kan kuasa ku bendung amarahnya bila aku menyentuhnya.
Tuhan, bantu aku. Rangkul bahunya. Peluk jiwanya. Hapus air matanya. Doaku dalam hati.
"Dik.." kataku. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku. Susah payah dia tersenyum.
"Katakan padaku, kenapa?" tanyaku. Dia menggeleng.
"Aku takut, Bang." jawabnya lirih.
"Takut? Padaku?" dia menggeleng, aku bingung.
"Aku takut mengecewakanmu." katanya. Aku menatapnya ragu.
"Aku tidak seperti yang kau lihat." kutatap matanya. Mencoba mencari kebenaran yang tersimpan.
"Untuk semua yang ada ataupun tidak ada padamu, aku tetap ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu." jawabku.
Diam. Air matanya mengalir lagi. Namun isaknya menghilang di bawah wajahnya yang menunduk dalam-dalam. Aku hanya bisa melihat kerudungnya yang semakin basah. Sungguh aku bingung akan apa yang terjadi. Aku melamar gadis impianku, namun yang kudapatkan bukannya jawaban melainkan air mata!
"Dik.. Ada yang ingin kamu ceritakan pada Abang?" tanyaku ragu. Dia menatapku. Pandangan kami bertemu. Dadaku bergolak.
Gadis di hadapanku menarik napas dalam-dalam. Aku bersiap untuk jawabannya. Apapun itu.
Deg! Hatiku beku. Kata demi kata berubah menjadi tautan kalimat lembut nan lemah. Pengakuan gadis impianku membuatku sadar akan ketakutan yang dihadapinya saat ini. Di satu sisi, aku amat menginginkannya mendampingiku. Namun di sisi lain, aku pun harus mengerti tentang keadaannya.
Dengan wajah yang selalu ceria dan senyum yang tak pernah habis, aku tak menyangka jiwanya telah terluka teramat dalam. Kehormatannya hampir saja di renggut saat dia masih duduk di bangku sekolah. Dan yang lebih menyakitkan adalah karena perbuatan itu dilakukan oleh orang terdekatnya sendiri. Sungguh saat mendengarnya, aku ingin memeluknya.
"Beri aku waktu.." gadis di hadapanku mendongak, matanya memandangku lurus, ".. Untuk menyembuhkan lukamu.. Bersamaku.." tekadku bulat, aku tak akan meninggalkannya.
"Tapi aku..mungkin tidak bisa menjadi istri yang baik. Sungguh aku takut mengecewakanmu.." dia terisak lagi.
"Ijinkan ku jawab ketakutanmu di hadapan orangtua mu." ku sorongkan sapu tanganku padanya.
Pandangan kami bertemu. Dia mengambil sapu tanganku lalu menghapus air matanya sendiri. Tak lama kemudian, dia mengangguk..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar