Jumat, 23 September 2011

Aku Sedang Tak Mempercayai Mataku

Aku sedang tak mempercayai mataku, mencoba mengelak dari apa yang ada di depan pandanganku. Mencoba untuk mengingkarinya, mencoba untuk tidak melihatnya. Namun aku tidak bisa. Dia sudah terlanjur ada di sana dan aku sudah terlanjur melihatnya, walau terpaksa.

Ombak di hatiku bergelung-gelung saat kulihat lagi dirinya, antara menahan rindu dan amarah pada laki-laki di hadapanku ini. Aku tidak dapat mengontrol detak jantungku yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dan berbunyi deg-deg-deg, tak ada suara lain yang ku dengar kecuali detak jatungku sendiri.

Aku tak tahu apa yang membawanya datang kembali di hadapanku saat ini, menemuiku yang tak lagi membutuhkannya, tak lagi mengharapkannya. Dia, laki-laki yang hampir tiga tahun ini tak kulihat, tak ku ketahui keberadaannya atau ku tahu kabarnya. Ku kira dia telah melupakan aku, waktu tiga tahun cukup bagi siapapun untuk memulai hidupnya yang baru, termasuk aku. Dan seharusnya ini juga berlaku padanya.

Aku menghela napas, menatapnya dalam diam tanpa kata. Aku berada di teras rumah sedangkan dia berdiri di ujung jalan depan rumahku. Dia melihatku, menatapku tajam. Entah apa yang dia pikirkan, aku tak perduli. Kami diam saling menatap dari kejauhan.

Lama kami terdiam, dalam udara hangat sore hari. Cahaya emasnya membuat semua terasa indah tapi tidak pada sosok di hadapanku. Aku ingin mengenyahkannya. Tidak saja dari pandanganku tapi juga dari otakku. Bukan, bukan karena aku membencinya, namun karena aku pernah merasa terlalu tersakiti oleh sikapnya. Dan aku tak ingin merasakan sakit yang sama.

Badannya kurus, wajahnya tirus, rambutnya yang lurus kusut tak diurus. Matanya hampir hilang tertutup ujung rambut yang menggelayut. Lengannya lemah berada lurus di sisi tubuhnya. Tak pernah aku melihatnya seperti ini. Sisa-sisa ketampanannya yang dulu masih dapat kulihat di ujung garis bibirnya. Di mataku dia bagai seorang spikopat yang kabur dari tahanan.

Pikiranku melayang, menjauh dari tempat aku berdiri. Ingatanku terbang ke masa-masa lalu, saat aku masih merasa hanya perlu memikirkan satu hal di dunia. Hanya satu hal, “CINTA”. Entah apa yang terjadi dalam dirinya, ketika tanpa kata, tanpa berita dia pergi menghilang. Kuhabiskan banyak waktu untuk mencari dirinya. Ku penuhi otakku dengan rencana-rencana pencarian yang nyata sia-sia. Dia menghilang meninggalkan aku.

Awalnya, ku pikir semua baik-baik saja, tak ada yang berubah. Dia masih tetap baik, selalu perhatian padaku, tak pernah sekalipun aku merasa ditinggalkan olehnya. Dia selalu ada untuk mendengar keluh kesahku, menyemangatiku untuk melalui hari-hari yang penuh tekanan atau sekedar bertukar kabar tentang aktifitas yang sedang dijalani. Kami merasa nyaman akan kehadiran masing-masing dari kami, merasa lengkap, merasa cukup dengan hubungan yang kami jalani. Ku pikir itulah yang terjadi.

Dia adalah laki-laki yang dapat membuatku merasa dilindungi, merasa aman. Dia memang tidak selalu membelaku setiap kali aku berselisih paham dengan teman lain, sebagai gantinya dia akan memberiku masukan yang dapat aku pertimbangkan tentang sikap yang mungkin dapat ku ambil. Dia orang yang bijaksana.

Dadaku sakit, aku merasa lemah dan kalah. Aku ingat bagaimana dulu dia memperlakukanku. Masih lekat dalam ingatan bagaimana dulu dia bersikap, cara bicaranya, gayanya berjalan, caranya menaburkan kepercayaan dalam hatiku. Sedikitpun tak pernah terlintas dalam benakku bahwa hanya ada sedikit waktu untuk menikmatinya.

Satu kesalahan yang aku perbuat adalah karena aku merasa memilikinya, merasa akan bersama selamanya. Aku merasa dia akan selalu berada di sampingku, tak ada sesuatu hal pun yang kulihat dapat memutuskan hubungan kami. Aku memilikinya. Tapi ternyata hal ini tidak sama dengan yang dia rasakan. Kita tidak akan merasa kehilangan jika kita tidak merasa memiliki, harusnya aku sadari itu.

Aku menatapnya lagi. Aku ingin bicara dengannya,aku ingin mengadukan semua kekesalanku. Menceritakan hari-hariku yang hilang, merasa kosong dan tak lengkap. Bagaimana aku merasa sia-sia. Seperti jendral tanpa tentara, seperti Negara tanpa warga, seperti dunia tanpa manusia, seperti raga tanpa nyawa, seperti aku tanpa hati yang memberi cinta.
      
     Aku terjerembab dalam kebahagiaan yang kau sodorkan tiba-tiba dihadapanku. Aku terperangah dalam dunia gemerlap akan indahnya cinta. Aku terlena dalam kenikmatan kasih sayang yang kau hamparkan di depan mataku. Kau menyelimutiku dengan ribuan kata-kata cinta. Kau buai aku dalam khayalan yang membuatu tertidur dalam harapan-harapan akan kata  “ bahagia selamanya”. Namun tidak, kau menghentikannya, Lalu semua berakhir.

Sejenak kulihat matanya bergerak, menatap fokus yang lain. Bukan aku, tapi benda di belakangku. Rumahku, Rumah yang sering didatanginya, sering disinggahinya. Sesering lebah mendatangi kuncup-kuncup bunga, sesering tentara menembakkan senjatanya. Dulu setiap akhir pekan sejak akhir bulan Sya’ban, Lalu tiba-tiba dirinya menghilang.

Apakah kau tahu, betapa aku sangat tersiksa? Mencarimu kemana-mana bagai orang gila. Ku tanggalkan rasa malu ku di pinggir-pinggir jalan, hanya untuk menemukan kehadiranmu kembali dalam hidupku. Ku tinggalkan rasa malu ku di belakang pintu kamar hanya untuk membawamu kembali di hadapanku. Ku tinggalkan rasa malu ku hanya agar aku dapat kembali bersamamu.

Aku tersesat dan kehilangan arah. Ku tahu ada sesuatu yang salah, hanya aku tak tahu benar apa masalahnya. Kuhabiskan waktuku untuk memikirkanmu. Hingga ku sadar tak ada lagi yang dapat aku lakukan untukku dapat bertemu denganmu. Dan ketika ku sudah mulai hidup lagi, bangkit kembali, dan mulai bersemangat kembali, kau datang. Untuk apa? Untuk menghancurkanku? Untuk membuatku sedih? Untuk membuat hati ku sakit? Untuk apa?!!

Aku sudah dapat hidup tanpa memikirkanmu, Bukan berarti aku melupakanmu. Tidak. Sungguh. Aku tidak pernah lupa bagaimana kau dulu sangat berarti dalam hidupku. Membuatku bahagia walau hanya sepenggal waktu. Dan aku tak ingin melupakan kebahagiaan yang ku reguk bersamamu, aku tak ingin melupakan bagaimana kau dulu adalah seorang arjuna, walau ternyata kau memutuskan bahwa bukan aku “srikandi”-nya. Dan aku tahu saat itu aku akan sakit.

Kini, aku memiliki kehidupan yang lain, Kehidupan yang dipenuhi oleh rasa syukur atas apa yang telah ku dapat dan rasa syukur atas apa yang tidak kudapat. Aku tahu, Tuhan selalu menjagaku dari hal-hal yang ada di sekelilingku, menjauhkanku dari hal-hal yang membuatku terluka, dari hal-hal yang membuatku menderita, dari hal-hal yang membuatku lupa pada-Nya.

Lalu fokus matanya kembali bergerak. Kembali menatapku. Lama kami menatap dalam kebisuan. Lalu tiba-tiba matanya mengembang, bulir air mata meluncur dari sudut matanya dan turun di kedua belah pipinya yang kurus. Matanya memancarkan kesedihan mendalam, kesedihan yang akan membuatmu menangis saat melihatnya, kesedihan yang terasa terlalu menyakitkan.

Gerimis mulai turun kecil dan lambat. Semilir angin menyentuh kami berdua. Memainkan ujung rambut di keningnya, seperti mencoba menariknya menjauh, mencoba menghilangkan konsentrasinya, mencoba mengalihkan pandangannya,  selebihnya tetap dalam posisi yang sama. Dia seperti tak tersentuh, masih diam pada pijakannya. Dan aku masih menatapnya.

Lalu dia melangkah ke arahku, mendekatiku. Wajahnya tak berubah, tetap diam tak bersuara. Langkahnya panjang dan lamban, seperti ingin memberiku ruang untuk pergi melarikan diri. Namun, aku tetap diam, tak bergeming dari tempatku. Aku bagai dua nyawa dalam satu raga. Satu nyawaku bagai ingin berteriak, menariknya agar aku tak perlu menunggu lama untuk melihat wajahnya di depan mataku. Sedang nyawa yang lainnya ingin berlari, menghilang dari hadapannya.

Gerimis masih mengiringi kebisuan kami. Angin yang mulai kencang membuat suara berisik yang membuatku merinding. Udara lembab dan dingin. Gemerisik daun seakan ingin menyeret kami menjauh, mengakhiri kebisuan antara kami dan mengembalikan keadaan semula. Daun-daun yang gugur melayang-layang, berputar di antara kami yang masih saling memandang.

Ujung gaunku meronta-ronta ditiup angin. Wajahku mulai basah oleh gerimis. Begitupun dengan wajahnya. Baju bagian bahunya pekat, basah. Celananya juga, menimbulkan bulatan-bulatan bak noda tinta. Lalu mulutnya membuka, hendak mengeluarkan suara………

“Maaf…… aku kembali……”           

“Pulanglah… dan lupakan kau pernah mengatakannya……”

Hujan mengiringi langkahnya dengan kepala tertunduk, melangkah menyusuri jalan kecil yang basah lalu menghilang. Dan yang ku lihat, hanyalah sebuah kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar