Sekuel dari City Of Ember membuat saya merinding membayangkan runtuhnya peradaban dan dimulainya sebuah kehidupan di tanah baru. Mengantungkan hidup dari sisa-sisa peninggalan manusia modern dan mencoba untuk melanjutkan usaha bertahan hidup. Jeane DuPrau mengimajinasikan kiamat dengan cara yang berbeda. Kisah peperangan terakhir yang membawa kehidupan di bumi pada titik nol dimana semua manusia yang tersisa harus mengalami kemunduran dalam berbagai bidang dan berbagai wabah yang mengancam setelah berakhirnya peperangan.
Warga Kota Ember hidup dalam sisa peninggalan peradaban manusia modern, mempunyai listrik, lampu pijar, korek api, kulkas, walikota yang korup dan rumah batu bertingkat namun makan-makanan kalengan dan menanam sedikit sayur. Namun, saat generator mulai kehabisan masa-masa “terang”nya, warga Kota Ember harus menemukan jalan keluar untuk mempertahankan hidup mereka. Antara mati dan menemukan tempat hidup yang baru, warga Kota Ember harus melewati saluran air raksasa yang membawa mereka pada kehidupan yang terang atau jatuh ke dalam jurang.
Don dan Lina berhasil menemukan jalan keluar dari Desa Ember menuju bumi atas yang terang, langkah lelah membawa mereka berhenti di Desa Sparks. Awalnya semua hidup dalam damai, namun masalah kekurangan bahan makanan menjadi pemicu perselisihan antar kedua kubu. Jumlah warga Kota Ember yang lebih banyak membuat warga Desa Sparks ketakutan dan mencoba mengusir mereka sedangkan warga Desa Ember yang merasa berhak atas bantuan warga Desa Sparks mencoba melawan. Jadi apakah sebuah kesalahan karena meninggalkan Kota Ember?


Tidak ada komentar:
Posting Komentar