Rabu, 31 Januari 2018

Di Balik Meja Kasir: Panggilan Kerja

Waktu itu sekitar Mei 2005 saat saya mendapat telepon panggilan kerja. Dari sekian banyak lamaran yang saya sebar kala itu, berbekal ijazah SMK, akhirnya ada yang tembus juga. Salah satu jaringan supermarket terbesar di Indonesia, menawarkan sebuah kesempatan untuk  bekerja di sana. Lion Superindo. Saya ingat hari itu Kamis, dan saya diminta untuk datang pada Jumat pagi ke daerah Ancol, tepatnya di Jalan Lodan Raya. Saya menepuk dahi. Ah, saya kan enggak tahu daerah sana!

Saya menyampaikan kabar itu pada emak dan bapak yang kemudian disusul saran agar bapak mengantar saya ke Lodan. Tentu saja saya senang. Alhamdulillah, semoga saya diterima. Doa saya kala itu.


Saat itu saya memang memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Seperti juga orang lain, sebenarnya saya juga ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun melihat kondisi keuangan keluarga, saya merasa hal itu tidak dapat diwujudkan. Saat sekolah pun saya sering menunggak biaya SPP. Tentu saja wajar bila emak lebih mementingkan biaya makan sehari-hari. Belum lagi biaya berobat bapak - belakangan saya ketahui mengidap penyakit Kanker Prostat - yang cukup besar. Penghasilan bapak yang hanya pensiunan pegawai dasar Bank Indonesia, tak banyak membantu perekonomian keluarga saat itu. Saya telah mengubur cita-cita sebagai seorang scriptwriter sejak duduk di bangku SMP. Di mata saya, cita-cita memang tidak diperuntukkan bagi orang seperti saya.

Jumat keesokan harinya, saya dan bapak berangkat ke Lodan Raya dengan menumpang kereta ekonomi jurusan Depok-Kota dan dilanjutkan dengan angkot biru telor asin yang saya lupa nomernya. Saat itu saya baru tahu jika ternyata Lion Superindo memiliki dua alamat kantor, yang meskipun tidak terlalu jauh namun cukup membuat bingung di awal. Hehehe. Sedihnya, ternyata saya termasuk dalam orang yang datang ke alamat yang salah. Beruntunglah, pihak Lion Superindo mau memaklumi keterlambatan saya kala itu yang hampir 30 menit.

Saya mengikuti beberapa kali tes tertulis dan lisan yang diadakan hampir seharian selama 4 hari. Saya dan beberapa teman yang memang baru pertama kali bekerja dan tidak punya cukup uang untuk makan, hanya menenggak air putih seharian itu. Kami berempat, 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, yang berteman karena sebuah nasib yang sama, duduk tertawa menunggu tiap hasil tes keluar.

Selama 4 hari itu setelah hasil tes keluar, kami mampir untuk makan mie telor sambal kacang di Stasiun Kota sebelum pulang ke rumah masing-masing. Kalau tidak salah harganya Rp 2.500 per porsi. Sudah lengkap dengan 1 lembar bakwan. Hilang lapar dan dahaga seharian itu. Kami pulang dengan naik kereta ekonomi yang tiket saat itu masih seharga Rp 1.500. Kami berjanji untuk pulang bersama lagi esok hari.

Saya ingat selama 4 hari itu, kami selalu dihantui perasaan harap-harap cemas. Bagaimana tidak, setiap hari kami menebak siapa saja teman kami yang akan gugur selama mengikuti tes. Setiap hari kami melihat, satu per satu teman kami tak terlihat lagi. Dari 50an orang yang mendaftar, hanya tersisa belasan orang yang sampai pada tahap paling akhir. Wawancara kerja.

Di hari ke empat, kami pulang lebih malam lagi karena menunggu surat penempatan kerja. Sekitar pukul 7 malam, satu per satu nama dipanggil maju ke sebuah ruangan tertutup untuk menerima surat penempatan kerja. Setelah menunggu selama 15 menit, tibalah giliran saya dan seorang teman untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang bapak berpenampilan rapi namun terlihat lelah, tersenyum ke arah kami.

"Ini surat penempatan kalian, silakan dibuka," ujarnya seraya menyerahkan secara kertas pada kami. Saya membiarkan teman saya membuka surat itu.

MAMPANG PRAPATAN.

Dua buah kata yang sengaja dicetak tebal langsung terbaca di mata saya. Mengabaikan barisan kalimat lain di surat itu.

"Apakah kalian bersedia ditempatkan di sana?" tanya bapak itu lagi.

"Iya, Pak. Jaraknya hanya dua kali naik kendaraan umum dari rumah saya," jawab saya kala itu. Bapak pewawancara tersenyum.

"Selamat bergabung bersama kami." Bapak pewawancara bangkit seraya mengulurkan tangannya ke arah kami.

Alhamdulillah ya Allah, akhirnya saya kerja juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar