Aku menatap langit yang mulai gelap. Cahaya mentari perlahan meredup, seakan merestui sang bulan yang sebentar lagi hendak menyapa bumi. Angin laut yang ribut, membuat gaun ku melayang dan sibuk bersuara kebut.
Aku masih menatap langit yang mulai gelap. Ombak pecah di kakiku yang telanjang. Saat ini kurasakan kasarnya butiran pasir serupa permadani paling lembut dan nyaman. Entah telah berapa lama aku berdiri disini.
"Apa yang sebenarnya sedang kau risaukan hingga begitu lama kau menatap langit?" sebuah suara menyapaku lembut.
Seorang kakek berwajah ramah tengah berdiri tenang di sisi ku. Rambutnya yang telah memutih dan tersisir rapi, seakan berkilau diterpa sisa-sisa cahaya mentari.
"Entah.." ujarku tak jelas.
"Sebegitu besarkah masalah mu hingga kau begitu lama mengadu? " tanyanya lagi.
Aku terdiam.
"Kau seakan menjadi tidak peduli dengan apa yang ada disekitarmu. Kau terlalu fokus melihat masalahmu, seakan tiada yang lebih penting dari itu."
"Salahkah aku?" aku menatapnya tiba-tiba. Dia tersenyum.
"Siapa yang berhak menentukan antara benar dan salah? Mengapa hal itu terdengar sangat penting?"
Lagi-lagi aku terdiam.
"Dengar, Nak. Tuhan tidak serta merta memberi semua yang kau inginkan. Semua hal yang benar di matamu, belum lah cukup untuk menjadikan hal tersebut harus terjadi."
"Aku hanya ingin semua berjalan dengan baik. Tak bisa kah aku mendapatkan bantuan?"
"Kau terdengar sangat takut."
Dahiku mengernyit. Mengapa kakek tua ini berkata seperti itu? Sebenarnya, apa maksud perkataannya? Ahh.. Aku benar-benar bingung.
"Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Percayalah padaNya. Saat kau merasa kecewa dan ditinggalkan, itu adalah tanda bahwa DIA sedang merindukan tangisan mu, rayuanmu, doa mu."
"Aku tidak sedang kecewa.." elakku.
"Ya, katakanlah apapun yang ingin kau katakan, Nak. Bukankah hanya kau yang dapat memastikan isi hatimu?" katanya lagi.
Malam telah turun sempurna. Langit kelabu membawa udara dingin yang menyentak. Air laut naik hingga menyentuh lututku. Aku berada diantara tepian kepasarahan.
"Saat ini, Tuhan sedang mengajarkan mu sesuatu.."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Kesabaran.."
Aku masih menatap langit yang mulai gelap. Ombak pecah di kakiku yang telanjang. Saat ini kurasakan kasarnya butiran pasir serupa permadani paling lembut dan nyaman. Entah telah berapa lama aku berdiri disini.
"Apa yang sebenarnya sedang kau risaukan hingga begitu lama kau menatap langit?" sebuah suara menyapaku lembut.
Seorang kakek berwajah ramah tengah berdiri tenang di sisi ku. Rambutnya yang telah memutih dan tersisir rapi, seakan berkilau diterpa sisa-sisa cahaya mentari.
"Entah.." ujarku tak jelas.
"Sebegitu besarkah masalah mu hingga kau begitu lama mengadu? " tanyanya lagi.
Aku terdiam.
"Kau seakan menjadi tidak peduli dengan apa yang ada disekitarmu. Kau terlalu fokus melihat masalahmu, seakan tiada yang lebih penting dari itu."
"Salahkah aku?" aku menatapnya tiba-tiba. Dia tersenyum.
"Siapa yang berhak menentukan antara benar dan salah? Mengapa hal itu terdengar sangat penting?"
Lagi-lagi aku terdiam.
"Dengar, Nak. Tuhan tidak serta merta memberi semua yang kau inginkan. Semua hal yang benar di matamu, belum lah cukup untuk menjadikan hal tersebut harus terjadi."
"Aku hanya ingin semua berjalan dengan baik. Tak bisa kah aku mendapatkan bantuan?"
"Kau terdengar sangat takut."
Dahiku mengernyit. Mengapa kakek tua ini berkata seperti itu? Sebenarnya, apa maksud perkataannya? Ahh.. Aku benar-benar bingung.
"Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Percayalah padaNya. Saat kau merasa kecewa dan ditinggalkan, itu adalah tanda bahwa DIA sedang merindukan tangisan mu, rayuanmu, doa mu."
"Aku tidak sedang kecewa.." elakku.
"Ya, katakanlah apapun yang ingin kau katakan, Nak. Bukankah hanya kau yang dapat memastikan isi hatimu?" katanya lagi.
Malam telah turun sempurna. Langit kelabu membawa udara dingin yang menyentak. Air laut naik hingga menyentuh lututku. Aku berada diantara tepian kepasarahan.
"Saat ini, Tuhan sedang mengajarkan mu sesuatu.."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Kesabaran.."

bagus sekali, terimakasih udah di share
BalasHapus