Ting.. Ting.. Ting..
"Masih aja suka mainin sendok ke gelas.." laki-laki muda di depan ku berkomentar.
"Jadi, apakah sekarang hal ini mengganggu Anda, Tuan?" tanyaku menggodanya.
"Hemh.. " dia melempar pandangannya ke arah jalanan.
Lalu lintas sore ini tak begitu padat. Aku masih bisa melihat jalan yang kosong selama beberapa detik sebelum sebuah kendaraan kembali melintas. Hal yang sangat jarang terjadi.
"Jadi kapan kamu akan menikah?" tanyanya kemudian.
"Segera setelah kamu datang ke rumah untuk melamarku." jawabku seraya tersenyum.
"Jangan bercanda terus." katanya malas.
"Aku serius. Apa wajahku terlihat bercanda?" jawabku.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padamu." ujarnya.
"Itu bagus. Calon suamiku haruslah lebih mencintai Tuhannya dibanding mencintai aku." jawabku lagi.
"Hemh.. Tolong mengerti lah. Mengapa kamu masih saja memaksakan dirimu padaku? Carilah laki-laki lain yang lebih baik dari aku." laki-laki di depanku terlihat gusar.
"Benar kamu sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padaku?" tanyaku akhirnya. Dia mengangguk.
"Lalu mengapa kamu masih terus menghubungiku? Mengapa kamu masih ingin aku mengirim pesan suara padamu? Mengapa kamu menanyakan alasan saat aku tidak mengabarimu? Mengapa kamu menanyakan alasan saat aku tidak menegurmu padahal aku melihatmu? Dan mengapa kamu masih memberi perhatian padaku?" tanyaku menuntut. Dia terdiam.
"Itukah yang kamu maksud dengan memaksakan diriku padamu?" tanyaku lagi. Aku menghela napas.
"Sebenarnya apa masalahmu? Mengapa kamu masih menyembunyikannya dariku?" Aku menyesap minumanku, memberi kesempatan untuknya berpikir.
"Kamu tidak akan bahagia jika tetap memilih bersamaku." dia menundukkan kepalanya.
"Siapa kamu yang berhak menentukan kebahagiaanku?"
"Kamu tahu benar keadaanku. Kita ini berbeda." jawabnya.
"Apa yang membuat kita berbeda? Bukankah di mata Tuhan kita semua sama?" ujarku. Dia hanya menggeleng.
"Tolong dengarkan, kita lah yang menjalani hubungan ini, lalu mengapa kita sibuk memikirkan pendapat orang lain?" Laki-laki di hadapanku menatap mataku tajam.
"Tapi.."
"Aku tahu apa yang sebenarnya kamu khawatirkan. Dan sungguh aku tak perduli dengan semua itu. Aku tidak butuh resepsi mewah di gedung mahal yang menghabiskan biaya berjuta -juta. Aku hanya butuh dua hal. Restu orang tua dan kesediaanmu untuk bersama-sama berjuang menuju ridha Tuhan." jelasku panjang lebar.
"Kita akan menemui banyak kesulitan.. " ujarnya.
"Aku percaya pada Tuhan. Dia pasti akan selalu menunjukkan jalanNya pada mereka yang berjuang. Dia tidak mungkin meninggalkan kita sendirian." jawabku.
"Kamu yakin akan tetap bersamaku meski ada laki-laki lain yang lebih baik datang melamarmu?" tanyanya lagi.
"Tolong berhentilah bertanya. Lihat saja mataku dan semua jawaban yang kamu butuhkan ada disana." jawabku tegas.
Cinta, akan datang pada siapa pun yang bersedia untuk memperjuangkannya. Bukan dengan menghalalkan segala cara, namun perjuangan yang disertai iringan doa kepada Tuhan. Maka kebahagiaan sudah pasti terhampar di depan mata.
Lepaskan ego, tinggalkan emosi. Jadilah pribadi yang jujur dan terbuka. Karena bersama Tuhan, kebahagiaan pasti akan selalu ada..
"Masih aja suka mainin sendok ke gelas.." laki-laki muda di depan ku berkomentar.
"Jadi, apakah sekarang hal ini mengganggu Anda, Tuan?" tanyaku menggodanya.
"Hemh.. " dia melempar pandangannya ke arah jalanan.
Lalu lintas sore ini tak begitu padat. Aku masih bisa melihat jalan yang kosong selama beberapa detik sebelum sebuah kendaraan kembali melintas. Hal yang sangat jarang terjadi.
"Jadi kapan kamu akan menikah?" tanyanya kemudian.
"Segera setelah kamu datang ke rumah untuk melamarku." jawabku seraya tersenyum.
"Jangan bercanda terus." katanya malas.
"Aku serius. Apa wajahku terlihat bercanda?" jawabku.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padamu." ujarnya.
"Itu bagus. Calon suamiku haruslah lebih mencintai Tuhannya dibanding mencintai aku." jawabku lagi.
"Hemh.. Tolong mengerti lah. Mengapa kamu masih saja memaksakan dirimu padaku? Carilah laki-laki lain yang lebih baik dari aku." laki-laki di depanku terlihat gusar.
"Benar kamu sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padaku?" tanyaku akhirnya. Dia mengangguk.
"Lalu mengapa kamu masih terus menghubungiku? Mengapa kamu masih ingin aku mengirim pesan suara padamu? Mengapa kamu menanyakan alasan saat aku tidak mengabarimu? Mengapa kamu menanyakan alasan saat aku tidak menegurmu padahal aku melihatmu? Dan mengapa kamu masih memberi perhatian padaku?" tanyaku menuntut. Dia terdiam.
"Itukah yang kamu maksud dengan memaksakan diriku padamu?" tanyaku lagi. Aku menghela napas.
"Sebenarnya apa masalahmu? Mengapa kamu masih menyembunyikannya dariku?" Aku menyesap minumanku, memberi kesempatan untuknya berpikir.
"Kamu tidak akan bahagia jika tetap memilih bersamaku." dia menundukkan kepalanya.
"Siapa kamu yang berhak menentukan kebahagiaanku?"
"Kamu tahu benar keadaanku. Kita ini berbeda." jawabnya.
"Apa yang membuat kita berbeda? Bukankah di mata Tuhan kita semua sama?" ujarku. Dia hanya menggeleng.
"Tolong dengarkan, kita lah yang menjalani hubungan ini, lalu mengapa kita sibuk memikirkan pendapat orang lain?" Laki-laki di hadapanku menatap mataku tajam.
"Tapi.."
"Aku tahu apa yang sebenarnya kamu khawatirkan. Dan sungguh aku tak perduli dengan semua itu. Aku tidak butuh resepsi mewah di gedung mahal yang menghabiskan biaya berjuta -juta. Aku hanya butuh dua hal. Restu orang tua dan kesediaanmu untuk bersama-sama berjuang menuju ridha Tuhan." jelasku panjang lebar.
"Kita akan menemui banyak kesulitan.. " ujarnya.
"Aku percaya pada Tuhan. Dia pasti akan selalu menunjukkan jalanNya pada mereka yang berjuang. Dia tidak mungkin meninggalkan kita sendirian." jawabku.
"Kamu yakin akan tetap bersamaku meski ada laki-laki lain yang lebih baik datang melamarmu?" tanyanya lagi.
"Tolong berhentilah bertanya. Lihat saja mataku dan semua jawaban yang kamu butuhkan ada disana." jawabku tegas.
Cinta, akan datang pada siapa pun yang bersedia untuk memperjuangkannya. Bukan dengan menghalalkan segala cara, namun perjuangan yang disertai iringan doa kepada Tuhan. Maka kebahagiaan sudah pasti terhampar di depan mata.
Lepaskan ego, tinggalkan emosi. Jadilah pribadi yang jujur dan terbuka. Karena bersama Tuhan, kebahagiaan pasti akan selalu ada..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar