Sabtu, 05 Oktober 2013

Boleh, Aku Jatuh Cinta?

Tuut.. Tuuut..

Bunyi peluit panjang kereta mengangetkan aku dari lamunan. Perjalanan selama lebih dari delapan jam dalam posisi duduk sepertinya telah melemahkan kewaspadaanku. Dan kini aku telah sampai di sebuah kota yang sama sekali asing bagiku. Tak banyak yang kubawa dari Jakarta. Sebuah tas ransel lusuh berisi dua pasang pakaian kurasa cukup menemani di kota asing ini. Jika semua sesuai rencana, aku akan kembali pulang malam nanti.

Ku sampirkan ransel dan bergegas mengikuti arus pelan penumpang lain yang juga berniat turun. Lambat, udara dingin mulai menyusup dari rongga pakaian dan menyapa kulitku. Hemh.. Sekarang aku sudah mengerti mengapa dia begitu mencintai kota ini.

Jika bukan karena janjiku pada seseorang untuk mengunjunginya, tak kan mungkin aku sampai di kota ini. Kota yang selalu di ceritakannya dengan semangat dan mata yang berbinar. Kota yang baginya adalah surga budaya dunia. Kota dimana aku hanya mengenalnya lewat nama. Dia berjanji akan menjemputku di stasiun dan menjadi pemandu selama aku berkunjung. Dan kini, aku disini.

Udara yang lebih dingin seakan memelukku ketika menjejak peron stasiun kota ini. Ya Tuhan, untung saja dia telah mengingatkanku untuk membawa baju hangat. Jika tidak.. ah sudahlah. Ku arahkan mataku menjelajah stasiun, mencari seraut wajah yang kukenal. Ku julurkan kepala lebih tinggi. Terus mencari.

Lamat-lamat, kudengar seseorang meneriakan namaku. Aku memutar badan, mencari sumber suara. Dia disana! Melambai ke arahku dengan wajah penuh senyum seperti biasa. Aku tersenyum lega. Dia telah menepati salah satu janjinya, menjemputku.

Dia mengatupkan kedua tangannya di dada sambil mengucapkan salam. Ku lihat peluh mengalir di dahinya yang lebar dan bersih. Wajah ramah yang sama sejak terakhir kali ku lihat. Aku mengangguk seraya menjawab salamnya. Dengan sopan dia menawarkan bantuan membawa ransel yang tersampir di bahuku. Aku mengangguk dan menyerahkan ransel itu. Kami berjalan keluar stasiun.

Aku berada dua langkah tepat di belakangnya. Mengikuti langkahnya yang anggun dan santai. Ya Tuhan, mengapa tiba-tiba jantungku berdebar sekeras ini? Suaranya membuat dada dan telingaku sakit. Apa dia dapat mendengarnya dari jarak sedemikian?

"Ayo.." katanya. Membuyarkan lamunanku.

Di depan kami, sebuah kereta dengan kuda cokelat berbadan tegap dan gagah menyapa dengan menghembuskan napasnya. Hemh.. Seingatku dia berjanji akan mengajakku naik motor kesayangannya. Tapi, baiklah. Naik kereta kuda pasti akan sangat menyenangkan.

Badan kami berguncang-guncang saat kereta kuda melaju. Jalanan berisi kendaraan bermotor, kereta kuda dan becak berisi banyak muatan. Orang-orang berlalu lalang di kanan kiri jalan. Kujulurkan kepala diantara tiang penopang, memandang langit biru cerah dan iringan awan putih bersih. Ku hirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Berusaha menikmati setiap hembusannya. Udara dingin memenuhi paru-paruku dalam sekejap. Selama perjalanan tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Mungkin dia sengaja membiarkanku menikmati kota ini. Jadi, seperti ini aromanya?

Kereta kuda kami berhenti di sebuah rumah sederhana bercat warna gading dan berjendela biru, tak lama setelah berbelok di perempatan jalan. Laki-laki tadi mendahului ku turun. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami dengan senyum di wajahnya. Senyum yang sama dengan yang dimiliki laki-laki itu. Ku cium telapak tangan wanita paruh baya dengan takzim. Rasanya seperti mencium tangan ibuku sendiri.

Kami memasuki ruang tamu beraroma kayu. Sebuah meja bundar berpelitur cokelat tua di kelilingi empat kursi berlengan rendah memenuhi salah satu sudut ruangan. Bertiga kami mengitari meja bundar itu. Tak berapa lama, seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang diperkenalkan sebagai kakak tertuanya, keluar membawa sepiring pisang goreng, singkong rebus dan tiga gelas teh yang masih mengepulkan uap. Segera saja aromanya membuat air liurku menetes. Lalu kusadari bahwa serigala di perutku sudah terlalu lapar dan menyalak begitu keras.

Hangatnya teh manis memenuhi perutku dan menenangkan serigala lapar yang bersemayam disana. Kami berbincang sambil menikmati sajian hangat yang terhidang. Terima kasih Tuhan, untuk semua keramahan di keluarga ini. Ucapku dalam hati.

Suara dering telepon menghentikan perbincangan kami. Ibu yang mengangkatnya, bicara sebentar dengan seseorang di ujung sana lalu pamit padaku. Aku mengangguk. Mereka pergi. Aku kemudian sendiri.

Ku lihat jam tanganku, baru pukul tujuh pagi lewat beberapa puluh menit. Ku edarkan pandanganku mengelilingi ruang kecil itu, memandang beberapa foto yang berjejer rapi di salah satu dinding. Penasaran, aku pun mendekat. Ku pandangi foto-foto lama beberapa anak kecil yang sedang bermain di taman, foto mereka dalam balutan seragam sekolah, foto mereka dalam sebuah acara, foto mereka di sebuah tempat rekreasi. Lalu aku beralih pada foto seseorang mengenakan toga. Fotonya. Aku tersenyum.

Lalu mataku terantuk pada sebuah foto seorang anak laki-laki kecil yang sedang tertawa. Wajahnya tampak begitu bahagia, entah apa yang terjadi kala itu. Aku terseyum. Lalu tanpa sadar, air mataku menetes.

"Apa foto kecilku begitu membuatmu bahagia sampai kau menangis?" tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku.

Aku terkejut lalu menoleh ke arah suara. Dia sedang tersenyum padaku. Aku menunduk malu seraya menghapus air mataku.

"Ayo kita sarapan.." ujarnya sambil mengangkat sebuah bungkusan kecil.

Dia mendahuluiku berjalan memasuki ruang makan. Baru kali ini ku pandangi punggungnya. Sebuah rasa tiba-tiba menyusup dan memenuhi hatiku. Entah mengapa rasanya begitu tenang dan damai. Lalu seperti teringat akan sesuatu langkahku terhenti.

"Mas.." kataku.

Dia berhenti dan menoleh padaku, wajahnya menyiratkan sebuah tanya. Ku tarik napas dalam-dalam dan menguatkan hatiku.

"Boleh.. aku jatuh cinta?".

Perlahan, sebuah pagi kemudian meninggi. Menyisakan sejuk yang berlalu pergi dan berganti hangatnya mentari. Hati, selalu saja tak dapat dibohongi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar