Ini
cinta. Selalu saja tentang sebuah kisah. Dimana aku, kamu, menemui sebuah arah.
Entah lurus, entah membelah. Tentang kita, kami, mereka. Baik bahagia, sedih,
amarah atau luka. Cinta, hanya lah akhir dari sebuah proses panjang hati yang
berdoa. Selebihnya hanya lah angan, mimpi yang belum berbuah nyata.
Sudah setengah jam lebih Bayu
berdiri di depan cermin. Berkali-kali menata rambutnya yang tak seberapa
panjang dengan gel rambut berkaleng merah. Bibirnya tak henti-hentinya bersiul.
Sekali lagi menatap bayangannya di cermin lalu menyemprotkan minyak wangi yang baru
dibelinya semalam. Dia sudah siap.
Bayu keluar dari kamar dengan
sebuah tas kecil tersampir di bahu kanannya. Bibirnya tak juga berhenti
bersiul. Adiknya, Riky masih lelap dalam selimut. Ini hari minggu dan jam dinding
baru menunjukkan angka delapan lewat sedikit. Dia mencari ibunya untuk
berpamitan.
Bayu tersenyum saat mendapati
ibunya duduk di dapur. Di hadapannya secangkir teh yang tinggal separuh masih
mengepulkan uapnya. Senyumnya mengembang lebih lebar dari biasanya. Perempuan itu menatap wajah putra di hadapannya dengan
raut sejuta pertanyaan, tapi yang terlihat hanya seraut wajah penuh kerut.
Dengan tersenyum Bayu mencium telapak tangan perempuan yang telah melahirkannya
itu dengan takzim.
Bayu memeluk ibunya penuh
hangat. Sebuah belaian lembut pada punggungnya mengisyaratkan keridhoan seorang
ibu terhadap putranya itu. Dia melangkah keluar rumah dengan langkah ringan dan
restu dari ibunya.
Dengan kendaraan roda dua
keluaran merk ternama berwarna hitam dan helm warna yang sama, Bayu meluncur di
jalan raya ke arah pancoran.Menuju rumah kekasih hatinya, Yasmin. Entah bisikan
datang dari mana, hari ini dia hanya ingin menghabiskan hari bersama kekasih
hati yang sudah dipacarinya dua tahun belakangan.
Lampu lalu lintas pancoran
sepertinya sedang melakukan persekongkolan terselubung dengan semua lampu lintas
di jalan yang dilewati Bayu menuju rumah Yasmin. Mungkin makhluk asing atau
seorang hacker kelas kakap seperti di film-film action sedang beraksi
mengacaukan sistem lalu lintas karena semua lampu berwarna hijau. Benar-benar
hari yang sempurna.
Kendaraan roda dua itu melaju
dengan kecepatan 60km/jam di jalan raya yang tak seberapa padat. Langit
berwarna biru cerah sedang udara yang menghembus terasa ringan dan sejuk.
Meneruskan lajunya sampai pada perempatan lampu merah selanjutnya, Bayu
berbelok ke sebuah gang cukup besar di sisi kiri jalan dan berhenti pada sebuah
rumah besar berwarna putih. Dengan senyum yang masih sama, Bayu turun dari
motornya.
Rumah Yasmin cukup besar dengan
tanaman-tanaman rindang di pekarangan rumah. Bunga-bunga tertanam rapi dalam
pot-pot kecil berbagai warna. Kerikil kecil di tebar membentuk jalan setapak
dengan jejeran kursi taman dan sebuah kolam kecil di ujungnya. Tempat dimana
mereka biasa berbincang saat Bayu datang berkunjung.
Rumah itu tampak sepi. Tak
terdengar sedikitpun suara dari balik pintu besar berwarna putih yang masih
tertutup itu. Bayu melangkah mendekati pintu, suara detak jantungnya tiba-tiba
saja mengeras dan hatinya tiba-tiba gelisah. Ini tidak seperti biasanya.
Dia menarik napas panjang
beberapa kali sebelum akhirnya mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Bayu
mengulangi sekali lagi diiringi ketukan pintu beberapa kali. Masih belum ada jawaban.
Dia mengulangi salamnya untuk yang ketiga kali dan kali ini suaranya lebih
keras dari salam yang kedua.
Sayup-sayup terdengar suara
langkah kaki mendekat. Langkah itu terdengar pendek dan cepat. Pintu putih
besar itu bergerak perlahan, seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluh
keluar dengan raut wajah lelah. Pakaiannya separuh basah, rambutnya diikat asal
di belakang tengkuknya. Bayu tersenyum memandangnya.
Bayu terdiam mendengar
penjelasan dari perempuan muda tadi. Wajahnya tiba-tiba saja terasa hangat.
Kaget. Dia bingung harus bicara apa. Bayu hanya memandang perempuan muda itu
kembali menutup pintu putih besar dan meninggalkan Bayu dan sejuta pertanyaan
yang berputar dalam kepalanya dalam kebisuan. Gadis yang dicarinya sudah pergi
sejak pagi. Entah kemana.
Seperti tersadar, Bayu mengambil
ponselnya dari dalam tas kecil yang di sandang di bahunya. Tak perlu mencari
nama, dia sudah hafal berapa nomor ponsel kekasihnya itu. Beberapa kali tekan
dan sebuah nada sambung terdengar. Tak ada jawaban. Lagi, dia ulangi. Belum
juga ada jawaban. Bayu belum menyerah, dia ulangi lagi menguhubungi ponsel
Yasmin. Lagi-lagi belum juga ada jawaban. Ini sudah yang kesepuluh.
Bayu berjalan perlahan menjauh
dari pintu putih besar yang seakan mengejeknya, menertawakannya. Kakinya terasa
mengambang dan kepalanya limbung. Diraihnya sebuah kotak berwarna biru dari
dalam tas kecil yang disandangnya. Sebuah logam bulat kecil terselip diantara
sela bantalan kotak, memantulkan cahaya matahari pagi. Dia merasa aneh.
Bayu memacu kendarannya
perlahan. Otaknya masih saja berpikir alasan yang mungkin masuk akal. Mengapa
Yasmin pergi tanpa memberitahunya? Mengapa dia tidak mengangkat ponselnya?
Berbagai bantahan atas pikirannya sendiri membuat Bayu makin bingung. Dia
berhenti di sebuah pelataran pusat perbelanjaan yang belum buka.
Diambilnya lagi ponsel dari
dalam tas kecilnya. Rasa penasaran masih saja menganggunya untuk sekali lagi
mencoba menghubungi Yasmin. Berharap panggilannya yang tidak terjawab adalah
karena Yasmin sedang ke kamar kecil atau tidak mendengar bunyi ponselnya. Bayu
berdebar.
*** *** ***
Langit sore berwarna pucat
seperti sedang bersedih. Rintik hujan sedari pagi tak juga berhenti turun.
Udara terasa lembab dan hangat, tak bergerak. Jalan basah dan lengket memanjang
sejauh mata mengarah. Orang-orang berjalan cepat seraya menghindar dari tetesan
air dari surga yang bocor.
Tiga orang dewasa duduk berdiam
diri dengan kebisuan yang mencekik di sebuah sudut restoran dengan alunan musik
selembut rintihan tangis gadis yang baru putus cinta. Sepasang insan dan
seorang pria, duduk berhadapan. Wajah perempuan itu menunduk kaku, matanya
sembab.
Perempuan muda itu, Yasmin,
duduk bersisi dengan seorang laki-laki muda berbadan kurus dan tinggi.
Rambutnya yang ikal dan berkilat ditata ke sisi sebelah kanan. Matanya kecil,
hidungnya mancung dengan rahang yang kaku. Seorang pemuda bernama Zain.
Yasmin mengenakan gaun sepanjang
lutut berwarna cokelat terang dengan ikat pinggang kecil berwarna hitam. Rambutnya
yang hitam lurus dan panjang disisir rapi ke belakang. Sebuah jepit terselip di
sisi kanannya. Sepasang sandal berhak tinggi berwarna cokelat gelap terselip
manis di kakinya. Sebuah logam berwarna kuning cerah membingkai benda bening
kecil berwarna putih, melingkar indah di jari manis tangan kanannya.
“Baiklah, aku mengerti.” Ujar Bayu
tiba-tiba. Kebisuan itu akhirnya pudar. Wajahnya tersenyum seakan ingin
menenangkan debur ombak di hati perempuan muda di hadapannya. Perempuan muda
itu, Yasmin, mendongak. Matanya sendu. Zain hanya diam.
Sekali lagi Bayu melempar
senyumnya. Walau hatinya berdebur dan jantungnya berdenyut-denyut nyeri.
Menenangkan dadanya sendiri yang terlalu sakit. Bagai memohon ampun, Yasmin
menatapnya penuh harap. Dia hanya bisa tersenyum.
Dua minggu setelah Yasmin
menghilang, kini dia hadir bersama seorang pria dan sebuah cincin di jari
manisnya. Bayu mungkin sudah cukup sakit tanpa perlu tahu siapa orangnya.
Namun, kenyataan sepertinya belum puas sebelum menusuk hatinya hingga hancur
dan berdarah. Zain, adalah sahabatnya sendiri. Akan lebih masuk akal jika
Yasmin bahkan tak pernah mau datang menemuinya lagi di kemudian hari, tapi
disinilah mereka.
Zain bangkit dari duduknya,
menggenggam erat tangan Yasmin, calon istrinya. Dia keluar dari restoran dengan
langkah tegap dan panjang, Yasmin mengikutinya dengan langkah hampir terseret.
Bayu tiba-tiba terenyuh, dia tidak pernah memperlakukannya seperti itu.
Pasangan itu menuju sebuah
kendaraan roda empat berharga mahal. Zain membukakan pintu untuk
gadisnya, dan tanpa menoleh lagi ke arah pria yang berdiri memandang mereka,
melajukan kendaraannya pergi menjauh. Bayu hanya memandang mereka pergi dari
kejauhan. Akhirnya Bayu sadar. Dan dia hanya tersenyum.
Note: terinspirasi
dari sebuah kisah seorang teman dalam perjalanan menuju Bandung.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar