Rabu, 10 Oktober 2012

Ini Cinta...


Ini cinta. Selalu saja tentang sebuah kisah. Dimana aku, kamu, menemui sebuah arah. Entah lurus, entah membelah. Tentang kita, kami, mereka. Baik bahagia, sedih, amarah atau luka. Cinta, hanya lah akhir dari sebuah proses panjang hati yang berdoa. Selebihnya hanya lah angan, mimpi yang belum berbuah nyata.

Sudah setengah jam lebih Bayu berdiri di depan cermin. Berkali-kali menata rambutnya yang tak seberapa panjang dengan gel rambut berkaleng merah. Bibirnya tak henti-hentinya bersiul. Sekali lagi menatap bayangannya di cermin lalu menyemprotkan minyak wangi yang baru dibelinya semalam. Dia sudah siap.
Bayu keluar dari kamar dengan sebuah tas kecil tersampir di bahu kanannya. Bibirnya tak juga berhenti bersiul. Adiknya, Riky masih lelap dalam selimut. Ini hari minggu dan jam dinding baru menunjukkan angka delapan lewat sedikit. Dia mencari ibunya untuk berpamitan.
Bayu tersenyum saat mendapati ibunya duduk di dapur. Di hadapannya secangkir teh yang tinggal separuh masih mengepulkan uapnya. Senyumnya mengembang lebih lebar dari biasanya. Perempuan  itu menatap wajah putra di hadapannya dengan raut sejuta pertanyaan, tapi yang terlihat hanya seraut wajah penuh kerut. Dengan tersenyum Bayu mencium telapak tangan perempuan yang telah melahirkannya itu dengan takzim.
Bayu memeluk ibunya penuh hangat. Sebuah belaian lembut pada punggungnya mengisyaratkan keridhoan seorang ibu terhadap putranya itu. Dia melangkah keluar rumah dengan langkah ringan dan restu dari ibunya.
Dengan kendaraan roda dua keluaran merk ternama berwarna hitam dan helm warna yang sama, Bayu meluncur di jalan raya ke arah pancoran.Menuju rumah kekasih hatinya, Yasmin. Entah bisikan datang dari mana, hari ini dia hanya ingin menghabiskan hari bersama kekasih hati yang sudah dipacarinya dua tahun belakangan.
Lampu lalu lintas pancoran sepertinya sedang melakukan persekongkolan terselubung dengan semua lampu lintas di jalan yang dilewati Bayu menuju rumah Yasmin. Mungkin makhluk asing atau seorang hacker kelas kakap seperti di film-film action sedang beraksi mengacaukan sistem lalu lintas karena semua lampu berwarna hijau. Benar-benar hari yang sempurna.
Kendaraan roda dua itu melaju dengan kecepatan 60km/jam di jalan raya yang tak seberapa padat. Langit berwarna biru cerah sedang udara yang menghembus terasa ringan dan sejuk. Meneruskan lajunya sampai pada perempatan lampu merah selanjutnya, Bayu berbelok ke sebuah gang cukup besar di sisi kiri jalan dan berhenti pada sebuah rumah besar berwarna putih. Dengan senyum yang masih sama, Bayu turun dari motornya.
Rumah Yasmin cukup besar dengan tanaman-tanaman rindang di pekarangan rumah. Bunga-bunga tertanam rapi dalam pot-pot kecil berbagai warna. Kerikil kecil di tebar membentuk jalan setapak dengan jejeran kursi taman dan sebuah kolam kecil di ujungnya. Tempat dimana mereka biasa berbincang saat Bayu datang berkunjung.
Rumah itu tampak sepi. Tak terdengar sedikitpun suara dari balik pintu besar berwarna putih yang masih tertutup itu. Bayu melangkah mendekati pintu, suara detak jantungnya tiba-tiba saja mengeras dan hatinya tiba-tiba gelisah. Ini tidak seperti biasanya.
Dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum akhirnya mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Bayu mengulangi sekali lagi diiringi ketukan pintu beberapa kali. Masih belum ada jawaban. Dia mengulangi salamnya untuk yang ketiga kali dan kali ini suaranya lebih keras dari salam yang kedua.
Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki mendekat. Langkah itu terdengar pendek dan cepat. Pintu putih besar itu bergerak perlahan, seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluh keluar dengan raut wajah lelah. Pakaiannya separuh basah, rambutnya diikat asal di belakang tengkuknya. Bayu tersenyum memandangnya.
Bayu terdiam mendengar penjelasan dari perempuan muda tadi. Wajahnya tiba-tiba saja terasa hangat. Kaget. Dia bingung harus bicara apa. Bayu hanya memandang perempuan muda itu kembali menutup pintu putih besar dan meninggalkan Bayu dan sejuta pertanyaan yang berputar dalam kepalanya dalam kebisuan. Gadis yang dicarinya sudah pergi sejak pagi. Entah kemana.
Seperti tersadar, Bayu mengambil ponselnya dari dalam tas kecil yang di sandang di bahunya. Tak perlu mencari nama, dia sudah hafal berapa nomor ponsel kekasihnya itu. Beberapa kali tekan dan sebuah nada sambung terdengar. Tak ada jawaban. Lagi, dia ulangi. Belum juga ada jawaban. Bayu belum menyerah, dia ulangi lagi menguhubungi ponsel Yasmin. Lagi-lagi belum juga ada jawaban. Ini sudah yang kesepuluh. 
Bayu berjalan perlahan menjauh dari pintu putih besar yang seakan mengejeknya, menertawakannya. Kakinya terasa mengambang dan kepalanya limbung. Diraihnya sebuah kotak berwarna biru dari dalam tas kecil yang disandangnya. Sebuah logam bulat kecil terselip diantara sela bantalan kotak, memantulkan cahaya matahari pagi. Dia merasa aneh.
Bayu memacu kendarannya perlahan. Otaknya masih saja berpikir alasan yang mungkin masuk akal. Mengapa Yasmin pergi tanpa memberitahunya? Mengapa dia tidak mengangkat ponselnya? Berbagai bantahan atas pikirannya sendiri membuat Bayu makin bingung. Dia berhenti di sebuah pelataran pusat perbelanjaan yang belum buka.
Diambilnya lagi ponsel dari dalam tas kecilnya. Rasa penasaran masih saja menganggunya untuk sekali lagi mencoba menghubungi Yasmin. Berharap panggilannya yang tidak terjawab adalah karena Yasmin sedang ke kamar kecil atau tidak mendengar bunyi ponselnya. Bayu berdebar.

                                                ***      ***      ***
Langit sore berwarna pucat seperti sedang bersedih. Rintik hujan sedari pagi tak juga berhenti turun. Udara terasa lembab dan hangat, tak bergerak. Jalan basah dan lengket memanjang sejauh mata mengarah. Orang-orang berjalan cepat seraya menghindar dari tetesan air dari surga yang bocor.
Tiga orang dewasa duduk berdiam diri dengan kebisuan yang mencekik di sebuah sudut restoran dengan alunan musik selembut rintihan tangis gadis yang baru putus cinta. Sepasang insan dan seorang pria, duduk berhadapan. Wajah perempuan itu menunduk kaku, matanya sembab.
Perempuan muda itu, Yasmin, duduk bersisi dengan seorang laki-laki muda berbadan kurus dan tinggi. Rambutnya yang ikal dan berkilat ditata ke sisi sebelah kanan. Matanya kecil, hidungnya mancung dengan rahang yang kaku. Seorang pemuda bernama Zain.
Yasmin mengenakan gaun sepanjang lutut berwarna cokelat terang dengan ikat pinggang kecil berwarna hitam. Rambutnya yang hitam lurus dan panjang disisir rapi ke belakang. Sebuah jepit terselip di sisi kanannya. Sepasang sandal berhak tinggi berwarna cokelat gelap terselip manis di kakinya. Sebuah logam berwarna kuning cerah membingkai benda bening kecil berwarna putih, melingkar indah di jari manis tangan kanannya.
“Baiklah, aku mengerti.” Ujar Bayu tiba-tiba. Kebisuan itu akhirnya pudar. Wajahnya tersenyum seakan ingin menenangkan debur ombak di hati perempuan muda di hadapannya. Perempuan muda itu, Yasmin, mendongak. Matanya sendu. Zain hanya diam.
Sekali lagi Bayu melempar senyumnya. Walau hatinya berdebur dan jantungnya berdenyut-denyut nyeri. Menenangkan dadanya sendiri yang terlalu sakit. Bagai memohon ampun, Yasmin menatapnya penuh harap. Dia hanya bisa tersenyum.
Dua minggu setelah Yasmin menghilang, kini dia hadir bersama seorang pria dan sebuah cincin di jari manisnya. Bayu mungkin sudah cukup sakit tanpa perlu tahu siapa orangnya. Namun, kenyataan sepertinya belum puas sebelum menusuk hatinya hingga hancur dan berdarah. Zain, adalah sahabatnya sendiri. Akan lebih masuk akal jika Yasmin bahkan tak pernah mau datang menemuinya lagi di kemudian hari, tapi disinilah mereka.
Zain bangkit dari duduknya, menggenggam erat tangan Yasmin, calon istrinya. Dia keluar dari restoran dengan langkah tegap dan panjang, Yasmin mengikutinya dengan langkah hampir terseret. Bayu tiba-tiba terenyuh, dia tidak pernah memperlakukannya seperti itu.
Pasangan itu menuju sebuah kendaraan roda empat berharga mahal. Zain membukakan pintu untuk gadisnya, dan tanpa menoleh lagi ke arah pria yang berdiri memandang mereka, melajukan kendaraannya pergi menjauh. Bayu hanya memandang mereka pergi dari kejauhan. Akhirnya Bayu sadar. Dan dia hanya tersenyum.

Note: terinspirasi dari sebuah kisah seorang teman dalam perjalanan menuju Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar