Senin, 17 September 2012

Masih Perlukah Pengamen di Jakarta???

Wow.. ekstrim sekali pertanyaan saya. Atau pernyataan saya?
Rasanya kita gak bisa lagi tutup mata, bahwa public enemy yang dihadapi masyarakat Jakarta bertambah satu lagi. Yap! Pengamen!

Sungguh saya udah merasa jengah dengan kehadiran pengamen di angkutan umum yang saya tumpangi. Gak kurang dari tiga pengamen turun-naik selama kira-kira 20 menit saya menggunakan transportasi ini. Dan bagi saya yang harus dua kali berganti angkutan, itu berarti saya bertemu dengan minimal enam pengamen sekali jalan. tinggal di kali kan dua untuk mengetahui jumlah pengamen yang saya temui setiap harinya. Eneg, bukan?

Hampir berasa pengen menjerit "woi, turun!" tiap kali para pengamen itu naik. Terlebih sekarang para pengamen itu menggunakan kalimat, "Jika anda masih punya hati nurani, jika anda masih merasa manusia, tolong hargai suara kami. Suara kami bukan suara angin atau suara binatang. Seribu dua ribu tidak akan mengurangi harta anda, jabatan anda, kehormatan anda. Dari pada kami mencopet, mencuri, merampok lebih baik kami mengamen. Itu lebih halal. Anda butuh makan, kami juga butuh makan bla.. bla.. bla.." Ya Tuhan, mereka itu sedang mengamen atau mengancam sebenarnya?

Kadang juga saya merasa bahwa para pengamen itu tidak pandang "jam kerja" mereka. Pagi-pagi (di bawah jam 7) mereka udah meng"invasi"   angkutan-angkutan kota. Padahal kelopak mata kami masih terlalu ngantuk untuk mendengar nyanyian mereka yang tak seberapa merdu. Sering saya melihat wajah muram dan tatapan sinis dari penumpang angkutan. Tak jarang suara menghela nafas yang sengaja di keraskan.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat bertanya mengenai profesi pengamen kepada seorang ustadz muda Riza Muhammad. Dan jawaban beliau adalah bahwa mengamen bukanlah kegiatan yang mulia menurut Islam sebab tangan di bawah alias minta-minta (jawaban asli Ust. Riza Muhammad - tanpa editan). Jadi, jelas lah sudah bahwa profesi sebagai pengamen bukan lah sebuah pilihan pekerjaan. Kalo di pikir-pikir masih banyak koq lapangan pekerjaan yang selain halal juga lebih mulia. Buktinya? Sepanjang tahun selalu ada event-event job fair. Terbukanya lowongan pekerjaan bagi siapa pun. Bahkan lebih banyak lagi perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan sepanjang tahun tapi tidak mengambil bagian di event-event job fair.

Seingat saya, beberapa teman kuliah yang iseng-iseng mendaftar sebagai pelayan di HokBen dan operator Pizza Hut, bisa masuk tanpa syarat yang njelimet. Belajar adri pengamalan mereka, tentunya para pengamen itu bisa ambil bagian dalam mencoba. Kalo situasinya begini, tentu ijasah gak akan sia-sia lagi.

Urusan perut memang hal yang riskan. Tapi bukan berarti kita bisa seenaknya menggangtungkan diri dari pemberian orang lain. Disaat yang lain bekerja untuk mendapatkan upah untuk menghidupi keluarganya, bagaimana mungkin sebagian yang lain memutuskan untuk "meminta" saja? Apakah seputus asa itu? Padahal kalo mau lebih kritis lagi, lihat lah dandanan para pengamen Jakarta jaman sekarang. Dengan tindikan di hidung, lidah, bibir bahkan alis toh mereka mampu. Emang saya gak tau apa berapa harga bandul piercing ? Kalo mau gaya-gayaan ya modal sendiri lah. Ngamen koq sok gaul. Dari pada buat hal-hal yang mubazir, lebih baik uangnya di gunakan untuk hal-hal yang lebih berguna. Bahkan tidak jarang saya mencium bau alkohol dari badan para pengamen itu. Bukan mau su'udzon tapi cium sendiri lah klo gak percaya.

Banjir, sampah, kemacetan, biaya pendidikan, biaya kesehatan di tambah lagi menjamurnya preman dan pengamen di Jakarta, apakah masih pantas Jakarta di sebut sebagai ibu kota sebuah negara? Pilihannya sudah jelas, sebagai penumpang angkutan mari menggalakkan Stop Pengamen atau mereka akan tetap ada. Terlihat kejam kah saya? Solusi nya adalah pendidikan. Dengan pendidikan maka akan tumbuh harapan pada generasi muda untuk mencapai cita-cita setinggi langit. Usaha yang maksimal dalam menuntut ilmu dan menciptakan generasi berprestasi (sumpah ini omongan kaya orang bener...). Jangan lagi menjadi masyarakat bermental pengemis!!!

Tanyalah pada pengamen-pengamen itu. Saya berani jamin bahwa pendapatan bersih mereka berkisar antara 30-50 ribu perhari. Tak jarang menyentuh angka seratus ribu per hari. Dengan pendapatan sebesar itu, apakah tidak bisa mereka menyisihkan sebagian pendapatannya untuk  modal wirausaha? Saya lebih menghargai usaha anak-anak kecil yang menjadi penjual koran atau tisu di jalanan. Saya bahkan kenal dengan seorang kakek yang masih bersemangat menjajakan keripik singkongnya dengan berkeliling kampung sambil berteriak "keripiiiiiiiiiik... singkong". Itu sungguh luar biasa.

Ini lah suara saya. Di sebuah kampung pinggir jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar