Senin, 25 Juni 2012

Dia Sudah Pergi


Langit sedang bergembira atau apa? Sejak pagi warnanya cerah namun hujan rintik yang turun sejak semalam tak juga reda. Tidak sampai membuatku basah, namun udaranya yang lumayan dingin membuat tubuhku menggigil. Padahal ini baru lewat jam makan siang. Cepat-cepat aku berlari masuk ke dalam gedung sambil berusaha melindungi kepalaku dengan majalah yang baru aku beli.
Kurapikan pakaianku di depan pintu sebelum melanjutkan langkahku. Ruri, reseptionis di meja depan memandangku sambil tersenyum. Ku lemparkan senyum sambil memutar bola mataku ke atas. Dia menghampiriku.
“Ini Mba..” katanya sambil menyodorkan kotak tisu.
“Makasih, Ri..” jawabku seraya menarik beberapa lembar tisu.
“Sama-sama mba. Eh, Mba udah tau belum kalo mas Johan mau resign?” tanya Riri tiba-tiba.
“Oh ya? Syukur deh… aku masuk dulu ya Ri..” jawabku lalu beranjak pergi.
Dalam hati aku amat bersyukur karena pada akhirnya pria bernama Johan mengundurkan diri dari tempat kerjaku ini. Aku senang dia akhirnya tidak akan menggangguku lagi. Aku memang tidak suka pada Johan, jujur saja. Entah wajar atau tidak, sejak dia berusaha mendekatiku beberapa bulan yang lalu aku mulai merasa tidak nyaman berada di dekatnya.
Aku baru saja putus dari Leo ketika dia mulai berusaha mendekatiku. Johan memang baik, tapi aku masih belum bisa melupakan Leo dan menerima kehadirannya. Apalagi jika dibandingkan dengan Leo, Johan benar-benar tidak sebanding. Sudahlah, aku tidak mau membicarakannya.
“Psstt.. psstt.. Mel..”
“Ngapain sih Re? Aneh banget deh..” teman kerja di samping meja ku memanggil sambil merendahkan tubuhnya hampir 45 derajat. Aku hanya tidak ingin dia jatuh.
“Johan mau resign, udah tau belum?” tanyanya.
“Udah..” jawabku pendek.
“Kamu dikasih apa ma dia?” tanya Tere lagi.
“Dikasih apa?” aku benar-benar tidak mengerti pertanyaan Tere.
“Seluruh orang di divisi kita dapet hadiah perpisahan loh dari dia. Aku di kasih buku sama cokelat.. nih..” Tere memamerkan hadiah yang didapatnya.
“Oh ya? Aduh.. aku dapet apa ya kira-kira? Bodo..” jawabku judes.
“Ihh.. biase aje dong mba..” Tere kembali ke meja kerjanya.
Tiba-tiba saja kandung kemihku terasa penuh. Aku pun beranjak dari mejaku menuju toilet.
Aduh! Kenapa di saat seperti ini aku justru harus bertemu dengan Johan? Ya Tuhan, semoga saja dia tidak berhenti dan mengajakku bicara. Aku benar-benar tidak ingin bicara dengannya, bahkan untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan sebagai teman kerja satu divisi. Tidak!
Tapi aku tidak mungkin berbalik dan kabur. Aku harus tetap berjalan dan memandang ke depan. Memandangnya! Johan menyandang ransel hitam jelek yang biasa dia bawa. Mungkin ini saatnya dia pergi dari kantor ini dan dari kehidupanku. Selamanya.
“Mel.. “ Johan tersenyum dan mengangguk padaku. Aku hanya mengangkat alisku untuk membalasnya.
Srett.
Dia tidak berhenti. Dia tidak mengajakku bicara. Dia tidak mengucapkan kalimat perpisahan. Dia tidak mengucapkan selamat tinggal. Dia melanjutkan langkahnya. Dia benar-benar pergi. Ahh.. apa peduliku? Tuhan telah mengabulkan doaku. Itu sudah cukup.
Aku sengaja berlama-lama di dalam toilet. Berjaga-jaga jika Johan masih berpamitan dengan teman-teman yang lain karena aku memang tidak mau bicara apa pun dengannya. Bahkan untuk urusan kerja yang mengharuskan kami bekerja sama, aku lebih baik bersusah payah membujuk Tere agar mau mewakiliku. Apalagi untuk yang satu ini? Tidak!
Hampir selama tiga pulu menit aku berada di toilet dan kurasa Johan pasti telah pergi.aku pun keluar dan menuju meja kerjaku dengan langkah tersantai yang pernah aku rasakan. Rasanya hatiku ini mengembang saking bahagianya. Johan, tak akan lagi aku bertemu dengannya di kantor ini. Tak akan lagi nama itu dalam hidupku. Haha.
Aku duduk di meja kerjaku dengan perasaan bahagia. Kerentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Ini senyum terlebar dan terindah selama hidupku. Merdekaaaaaaaa!
Deg!
Sebuah kotak dengan amplop di atasnya menghentikan celebracy yang kulakukan. Celingak-celinguk mencari tanda-tanda keganjilan. Kulirik Tere. Dia sedang asik dengan monitor di hadapannya. Pasti bukan dia. Aku berdiri dan melayangkan pandanganku ke seluruh penjuru kantor. Tak ada yang aneh. Kubuka amplop di atas kotak dan mulai membacanya.

Dear Mel,
Maaf. Aku tau kau tak ingin bicara padaku, sama sekali. Maka ku tulis surat ini sebagai salam perpisahanku.
Aku berhenti membaca surat itu dan melemparkannya ke ujung mejaku. Napasku terengah-engah. Marah. Entah mengapa perasaanku membuncah. Rasanya benar-benar hampir pecah. Jadi dia tidak menyapaku karena sudah menyiapkan surat ini?!
Lama kutatap surat yang kini sudah kusut. Antara marah dan rasa penasaran, akhirnya aku meraih surat itu kembali dan mulai membacanya.
Aku harap kau tidak melemparkan surat ini sebelum kau selesai membacanya. (Kurang ajar, mengapa dia sampai memperkirakan hal ini?)
Mel, ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor ini, kantor yang mempertemukan kita. Jujur saja berat rasanya meninggalkan perusahaan ini, kau pasti tau alasannya. Ya, karena di kantor ini tertinggal separuh hatiku, separuh perasaanku. Kau. Apa kedengarannya menggelikan?
Namun aku sadar, aku tidak boleh egois. Sejak ku sadari perubahan sikapmu yang menjauh dariku dengan berusaha tidak terlibat perkerjaan apapun denganku, aku tau kau benar-benar tidak ingin berhubungan denganku dalam hal apapun. Maka itu Mel, kuputuskan untuk keluar dari kantor ini, lebih tepatnya keluar dari kehidupanmu.
Aku sadar, kau mungkin tidak merasa nyaman dalam berkerja dengan kehadiranku di kantor ini karena itu aku minta maaf. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya karena telah merepotkanmu selama ini.
Selama berbulan-bulan aku bekerja keras menyelesaikan pekerjaanku. Aku berusaha tidak membuat satu kesalahan kecil pun yang mungkin berdampak di kemudian hari, jadi maaf saja jika beberapa waktu lalu aku berbubah jadi lebih bawel soal pekerjaan. Aku ingin meninggalkan pekerjaan ini dengan perasaan puas dan lega.
Selama berbulan-bulan aku mengambil jam kerja lembur, tapi bukan uang yang aku cari Mel. Aku melakukannya agar aku bisa datang sedikit terlambat dari biasanya. Aku telah melakukan sesi interview di beberapa perusahaan. Walau banyak yang ternyata tidak sesuai harapanku, namun pada akhirnya ada satu perusahaan yang membuat ku mantap mengambil keputusan untuk resign. Walau itu artinya aku tidak akan bertemu denganmu lagi.
Mel, maafkan aku karena telah lancang mendekatimu. Aku sadar, aku tak sebanding dengan Leo, kekasihmu dulu. Tapi aku tak menyangka bahwa keputusanku mendekatimu membawa reaksi penolakan yang sedemikian darimu. Aku benar-benar tidak memperhitungkan hal itu. Mel, mulai besok dan hari-hari seterusnya kau tidak akan bertemu denganku. Apa kau bahagia? Kuharap kau bahagia, Mel. Aku selalu berdoa agar kau bahagia. Namun, sekarang aku hanya ingin meluruskan semuanya. Semuanya.
Mel, aku minta maaf karena mulai besok dan hari-hari selanjutnya tidak akan ada lagi yang menyediakan semangkuk bubur dan menyiapkan secangkir teh hangat di mejamu. Aku tau kau tidak pernah sarapan dan karenanya kau sering sakit perut, aku hanya berusaha merubah kebiasaan burukmu itu. (Deg! Jadi selama ini dia… )
Mulai besok dan hari-hari selanjutnya tidak akan ada lagi secarik kertas note warna-warni berisi lelucon-lelucon ringan dan singkat yang tertempel di komputermu. Aku tau setiap kali selesai makan siang kau sering kali kehilangan semangat untuk bekerja kembali.
Mel, sekarang sudah musim hujan jangan lupa untuk selalu membawa payung di tasmu. Aku tau kau selalu lupa membawa payung maka dari itu aku selalu menyiapkan payung lebih di tasku, tentunya dengan warna yang sama dengan punyamu. Mungkin kau heran mengapa jumlah payungmu bertambah banyak. Atau tidak? Jika hari ini hujan, jangan khawatir aku telah menyiapkan satu untukmu. (Air mataku mulai menetes. Aku memang tidak pernah ingat untuk membawa payung, namun aku selalu bisa menemukan payungku berada di laci mejaku. Aku baru sadar mengapa jumlah payung di rumahku bertambah banyak).
Aku ingat beberapa waktu yang lalu, kau kehilangan flashdisk mu. Dan kau begitu panik. Jangan khawatir Mel, aku telah menyiapkan sebuah flashdisk ukuran 16GB yang dilengkapi dengan gantungan. Semoga itu membantu mu. Dan kuharap tidak sampai hilang ^_*
Jam berapa sekarang? Apakah sudah jam empat? Kau ingat, setiap pukul empat sore kau akan berteriak pada Tere bahwa kau lapar tapi kau tidak pernah ingat untuk menyiapkan pengganjal perut untuk menahan laparmu. Tapi kau mungkin heran, mengapa kau selalu bisa menemukan sebungkus biscuit dan susu kotak di laci mejamu. Mulai besok dan hari-hari selanjutnya kau harus menyiapkannya sendiri, Mel. (Saat ini aku benar-benar telah menangis).
Dan ya, aku hampir lupa. Hadiah ulang tahun yang kau pakai saat ini, kau pernah menyangkanya bahwa itu dari Leo, kan? Awalnya aku ingin memberikan jam tangan itu untuk adikku, namun aku tau dari Tere bahwa kau juga menginginkannya. Maka aku pun menyiapkan satu untukmu. Tapi sayangnya aku lupa menulis namaku dan kau terlanjur menyangka bahwa Leo lah yang memberimu hadiah.
Aku berlari keluar kantor. Mengejar Johan. Berharap aku masih bisa melihat senyumnya atau melihat ransel hitamnya yang jelek. Aku menggenggam surat darinya kuat-kuat. Aku tak peduli hujan rintik yang terus turun dari langit. Aku hanya peduli bagaimana aku bisa menemukannya. Aku berlari menuju parkiran. Sepi.
Aku berjongkok dan menangis. Dia sudah pergi. Sudah pergi.
Mel, aku sudah memastikan bahwa kau tidak akan bertemu aku lagi. Aku hanya tidak ingin kau merasa tidak nyaman. Aku doakan kau menemukan pria baik yang akan selalu membuatmu bahagia. Maafkan untuk semua yang telah kulakukan padamu.

                                                                                                            Johan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar