Langit sedang
bergembira atau apa? Sejak pagi warnanya cerah namun hujan rintik yang turun
sejak semalam tak juga reda. Tidak sampai membuatku basah, namun udaranya yang
lumayan dingin membuat tubuhku menggigil. Padahal ini baru lewat jam makan
siang. Cepat-cepat aku berlari masuk ke dalam gedung sambil berusaha melindungi
kepalaku dengan majalah yang baru aku beli.
Kurapikan pakaianku di
depan pintu sebelum melanjutkan langkahku. Ruri, reseptionis di meja depan
memandangku sambil tersenyum. Ku lemparkan senyum sambil memutar bola mataku ke
atas. Dia menghampiriku.
“Ini Mba..” katanya sambil menyodorkan kotak tisu.
“Makasih, Ri..” jawabku seraya menarik beberapa
lembar tisu.
“Sama-sama mba. Eh, Mba udah tau belum kalo mas
Johan mau resign?” tanya Riri tiba-tiba.
“Oh ya? Syukur deh… aku masuk dulu ya Ri..” jawabku
lalu beranjak pergi.
Dalam hati aku amat
bersyukur karena pada akhirnya pria bernama Johan mengundurkan diri dari tempat
kerjaku ini. Aku senang dia akhirnya tidak akan menggangguku lagi. Aku memang
tidak suka pada Johan, jujur saja. Entah wajar atau tidak, sejak dia berusaha
mendekatiku beberapa bulan yang lalu aku mulai merasa tidak nyaman berada di
dekatnya.
Aku baru saja putus
dari Leo ketika dia mulai berusaha mendekatiku. Johan memang baik, tapi aku
masih belum bisa melupakan Leo dan menerima kehadirannya. Apalagi jika
dibandingkan dengan Leo, Johan benar-benar tidak sebanding. Sudahlah, aku tidak
mau membicarakannya.
“Psstt.. psstt.. Mel..”
“Ngapain sih Re? Aneh
banget deh..” teman kerja di samping meja ku memanggil sambil merendahkan
tubuhnya hampir 45 derajat. Aku hanya tidak ingin dia jatuh.
“Johan mau resign, udah
tau belum?” tanyanya.
“Udah..” jawabku
pendek.
“Kamu dikasih apa ma
dia?” tanya Tere lagi.
“Seluruh orang di
divisi kita dapet hadiah perpisahan loh dari dia. Aku di kasih buku sama
cokelat.. nih..” Tere memamerkan hadiah yang didapatnya.
“Oh ya? Aduh.. aku
dapet apa ya kira-kira? Bodo..” jawabku judes.
“Ihh.. biase aje dong
mba..” Tere kembali ke meja kerjanya.
Tiba-tiba saja kandung
kemihku terasa penuh. Aku pun beranjak dari mejaku menuju toilet.
Aduh! Kenapa di saat
seperti ini aku justru harus bertemu dengan Johan? Ya Tuhan, semoga saja dia
tidak berhenti dan mengajakku bicara. Aku benar-benar tidak ingin bicara
dengannya, bahkan untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan sebagai teman
kerja satu divisi. Tidak!
Tapi aku tidak mungkin
berbalik dan kabur. Aku harus tetap berjalan dan memandang ke depan. Memandangnya!
Johan menyandang ransel hitam jelek yang biasa dia bawa. Mungkin ini saatnya
dia pergi dari kantor ini dan dari kehidupanku. Selamanya.
“Mel.. “ Johan
tersenyum dan mengangguk padaku. Aku hanya mengangkat alisku untuk membalasnya.
Srett.
Dia tidak berhenti. Dia
tidak mengajakku bicara. Dia tidak mengucapkan kalimat perpisahan. Dia tidak
mengucapkan selamat tinggal. Dia melanjutkan langkahnya. Dia benar-benar pergi.
Ahh.. apa peduliku? Tuhan telah mengabulkan doaku. Itu sudah cukup.
Aku sengaja berlama-lama
di dalam toilet. Berjaga-jaga jika Johan masih berpamitan dengan teman-teman
yang lain karena aku memang tidak mau bicara apa pun dengannya. Bahkan untuk
urusan kerja yang mengharuskan kami bekerja sama, aku lebih baik bersusah payah
membujuk Tere agar mau mewakiliku. Apalagi untuk yang satu ini? Tidak!
Hampir selama tiga pulu
menit aku berada di toilet dan kurasa Johan pasti telah pergi.aku pun keluar
dan menuju meja kerjaku dengan langkah tersantai yang pernah aku rasakan.
Rasanya hatiku ini mengembang saking bahagianya. Johan, tak akan lagi aku
bertemu dengannya di kantor ini. Tak akan lagi nama itu dalam hidupku. Haha.
Aku duduk di meja
kerjaku dengan perasaan bahagia. Kerentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Ini
senyum terlebar dan terindah selama hidupku. Merdekaaaaaaaa!
Deg!
Sebuah kotak dengan
amplop di atasnya menghentikan celebracy yang kulakukan. Celingak-celinguk
mencari tanda-tanda keganjilan. Kulirik Tere. Dia sedang asik dengan monitor di
hadapannya. Pasti bukan dia. Aku berdiri dan melayangkan pandanganku ke seluruh
penjuru kantor. Tak ada yang aneh. Kubuka amplop di atas kotak dan mulai
membacanya.
Dear
Mel,
Maaf.
Aku tau kau tak ingin bicara padaku, sama sekali. Maka ku tulis surat ini sebagai
salam perpisahanku.
Aku berhenti membaca
surat itu dan melemparkannya ke ujung mejaku. Napasku terengah-engah. Marah.
Entah mengapa perasaanku membuncah. Rasanya benar-benar hampir pecah. Jadi dia
tidak menyapaku karena sudah menyiapkan surat ini?!
Lama kutatap surat yang
kini sudah kusut. Antara marah dan rasa penasaran, akhirnya aku meraih surat
itu kembali dan mulai membacanya.
Aku
harap kau tidak melemparkan surat ini sebelum kau selesai membacanya.
(Kurang ajar, mengapa dia sampai memperkirakan hal ini?)
Mel,
ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor ini, kantor yang mempertemukan
kita. Jujur saja berat rasanya meninggalkan perusahaan ini, kau pasti tau
alasannya. Ya, karena di kantor ini tertinggal separuh hatiku, separuh
perasaanku. Kau. Apa kedengarannya menggelikan?
Namun
aku sadar, aku tidak boleh egois. Sejak ku sadari perubahan sikapmu yang
menjauh dariku dengan berusaha tidak terlibat perkerjaan apapun denganku, aku
tau kau benar-benar tidak ingin berhubungan denganku dalam hal apapun. Maka itu
Mel, kuputuskan untuk keluar dari kantor ini, lebih tepatnya keluar dari
kehidupanmu.
Aku
sadar, kau mungkin tidak merasa nyaman dalam berkerja dengan kehadiranku di
kantor ini karena itu aku minta maaf. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya
karena telah merepotkanmu selama ini.
Selama
berbulan-bulan aku bekerja keras menyelesaikan pekerjaanku. Aku berusaha tidak
membuat satu kesalahan kecil pun yang mungkin berdampak di kemudian hari, jadi
maaf saja jika beberapa waktu lalu aku berbubah jadi lebih bawel soal
pekerjaan. Aku ingin meninggalkan pekerjaan ini dengan perasaan puas dan lega.
Selama
berbulan-bulan aku mengambil jam kerja lembur, tapi bukan uang yang aku cari
Mel. Aku melakukannya agar aku bisa datang sedikit terlambat dari biasanya. Aku
telah melakukan sesi interview di beberapa perusahaan. Walau banyak yang
ternyata tidak sesuai harapanku, namun pada akhirnya ada satu perusahaan yang
membuat ku mantap mengambil keputusan untuk resign. Walau itu artinya aku tidak
akan bertemu denganmu lagi.
Mel,
maafkan aku karena telah lancang mendekatimu. Aku sadar, aku tak sebanding
dengan Leo, kekasihmu dulu. Tapi aku tak menyangka bahwa keputusanku
mendekatimu membawa reaksi penolakan yang sedemikian darimu. Aku benar-benar
tidak memperhitungkan hal itu. Mel, mulai besok dan hari-hari seterusnya kau
tidak akan bertemu denganku. Apa kau bahagia? Kuharap kau bahagia, Mel. Aku
selalu berdoa agar kau bahagia. Namun, sekarang aku hanya ingin meluruskan
semuanya. Semuanya.
Mel,
aku minta maaf karena mulai besok dan hari-hari selanjutnya tidak akan ada lagi
yang menyediakan semangkuk bubur dan menyiapkan secangkir teh hangat di mejamu.
Aku tau kau tidak pernah sarapan dan karenanya kau sering sakit perut, aku
hanya berusaha merubah kebiasaan burukmu itu. (Deg! Jadi
selama ini dia… )
Mulai
besok dan hari-hari selanjutnya tidak akan ada lagi secarik kertas note
warna-warni berisi lelucon-lelucon ringan dan singkat yang tertempel di komputermu.
Aku tau setiap kali selesai makan siang kau sering kali kehilangan semangat
untuk bekerja kembali.
Mel,
sekarang sudah musim hujan jangan lupa untuk selalu membawa payung di tasmu.
Aku tau kau selalu lupa membawa payung maka dari itu aku selalu menyiapkan
payung lebih di tasku, tentunya dengan warna yang sama dengan punyamu. Mungkin
kau heran mengapa jumlah payungmu bertambah banyak. Atau tidak? Jika hari ini
hujan, jangan khawatir aku telah menyiapkan satu untukmu.
(Air mataku mulai menetes. Aku memang tidak pernah ingat untuk membawa payung,
namun aku selalu bisa menemukan payungku berada di laci mejaku. Aku baru sadar
mengapa jumlah payung di rumahku bertambah banyak).
Aku
ingat beberapa waktu yang lalu, kau kehilangan flashdisk mu. Dan kau begitu panik.
Jangan khawatir Mel, aku telah menyiapkan sebuah flashdisk ukuran 16GB yang
dilengkapi dengan gantungan. Semoga itu membantu mu. Dan kuharap tidak sampai
hilang ^_*
Jam
berapa sekarang? Apakah sudah jam empat? Kau ingat, setiap pukul empat sore kau
akan berteriak pada Tere bahwa kau lapar tapi kau tidak pernah ingat untuk
menyiapkan pengganjal perut untuk menahan laparmu. Tapi kau mungkin heran,
mengapa kau selalu bisa menemukan sebungkus biscuit dan susu kotak di laci
mejamu. Mulai besok dan hari-hari selanjutnya kau harus menyiapkannya sendiri,
Mel. (Saat ini aku benar-benar telah menangis).
Dan
ya, aku hampir lupa. Hadiah ulang tahun yang kau pakai saat ini, kau pernah
menyangkanya bahwa itu dari Leo, kan? Awalnya aku ingin memberikan jam tangan
itu untuk adikku, namun aku tau dari Tere bahwa kau juga menginginkannya. Maka
aku pun menyiapkan satu untukmu. Tapi sayangnya aku lupa menulis namaku dan kau
terlanjur menyangka bahwa Leo lah yang memberimu hadiah.
Aku berlari keluar
kantor. Mengejar Johan. Berharap aku masih bisa melihat senyumnya atau melihat
ransel hitamnya yang jelek. Aku menggenggam surat darinya kuat-kuat. Aku tak
peduli hujan rintik yang terus turun dari langit. Aku hanya peduli bagaimana
aku bisa menemukannya. Aku berlari menuju parkiran. Sepi.
Aku berjongkok dan
menangis. Dia sudah pergi. Sudah pergi.
Mel,
aku sudah memastikan bahwa kau tidak akan bertemu aku lagi. Aku hanya tidak
ingin kau merasa tidak nyaman. Aku doakan kau menemukan pria baik yang akan
selalu membuatmu bahagia. Maafkan untuk semua yang telah kulakukan padamu.
Johan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar