Sabtu, 09 April 2011

Rona Yang Menghilang

Suatu hari tiba-tiba punya inspirasi bikin cerpen, dari pada gak ada yang baca mending di share aja. Tokoh dalam cerpen asli fiksi, jadi kalo ada kesamaan itu hanya kebetulan semata. Cekidot.


Langit di atas kepalaku masih gelap, matahari telah lama turun meninggalkan singgasananya, membiarkan bulan menggantikan tempatnya, walau bulan malam itu tidak sepenuh biasanya. Ratusan bintang-bintang berkelap-kelip menemani bulan, mereka seakan-akan menyenandungkan nyanyian tanpa suara, sunyi. Begitu damai, lembut, sepi . . .



Udara malam dingin dan pengap, membuatku malas dan gelisah. Aku bersandar di dinding kanan jendela, menatap malas pada keluargaku yang tampak murung dan sedih. Ibu, ayah dan kedua kakakku, mereka duduk mengitari ranjang dengan sosok yang terbaring lemah di sana sambil terus membaca doa. Om dan tanteku juga ada, mereka berdiri di sudut yang lain, tak henti-hentinya menelepon orang dengan telepon seluler. Aku melongok ke luar sebentar lalu kembali menatap keluargaku, ada rasa yang aneh dalam diriku. Tiba-tiba ayah menatap ke arahku, kami berpandangan dalam diam, cukup lama lalu beliau memalingkan wajahnya. Aku tidak tahan lagi, jadi kuputuskan untuk keluar jalan-jalan.

Koridor rumah sakit lenggang dan sepi, hanya sekali aku melihat seorang perawat melintas di depanku, dia berbelok lalu menghilang. Aku keluar dari pelataran rumah sakit, melewati pintu gerbang dengan penjaga yang acuh terhadap kedatanganku. Ah, biarlah.

Aku berjalan dan terus berjalan tanpa merasa lelah, udara malam yang lembab tak menghalangi keinginanku menyusuri jalan-jalan ibu kota. Aku tak tahu tujuanku, aku berjalan tanpa arah sambil memandangi kendaraan yang lewat berpacu cepat, hembusan anginnya tak menggangguku sama sekali. Ku ikuti kemanapun kaki ini membawaku.

Entah sudah berapa lama aku berjalan, aku kaget ketika langkahku terhenti di sebuah bangunan rumah kuno yang sudah ku hafal sekali, rumah sahabatku, Metha. Terakhir kali aku bertemu dengannya minggu lalu, dia menemaniku yang ingin berjalan-jalan di tepi pantai, aku memang suka sekali pada pantai. Aku mengenal Metha saat masuk ke sekolah menengah pertama, dia adalah gadis manis yang paling ceria yang pernah kukenal, aku heran bagaimana dia bisa selalu membuat orang lain tersenyum.

Aku bersandar di pintu kamarnya, menatapnya yang terdiam dalam lelap, begitu damai dan manis. Metha bertubuh gemuk dengan pipi yang menggelembung, seperti ada dua buah bakso yang nyempil di ujung gigi gerahamnya. Walaupun banyak teman-teman yang sering mengejeknya, Metha tak pernah merasa terganggu. Satu hal yang akan selalu aku ingat tentang Metha adalah ketika kami bertemu dengan teman sekolah dasarnya beberapa bulan yang lalu.

Saat itu, Metha dan aku sedang jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan, tak ada tujuan pasti tentang perjalanan hari itu. Setelah lelah berkeliling-keliling, kami memutuskan untuk menonton film. Kami baru saja duduk di kursi kami ketika seorang cowo menyapa Metha.

“Hei . . .  lo Metha kan?”

“Eh, Arman, masih inget gue?” tanya Metha.

“Masih dong, gimana kabar lo?” tanya cowo bernama Arman lagi.

“Biasa, masih gendut, nih . . . ” Metha mengembangkan tangannya seakan ingin menunjukkan bentuk badannya yang memang lumayan bulet.

Ternyata Arman itu adalah cowo yang pernah disuka Metha. Arman mengetahui tentang perasaan Metha dari penuturan teman dekat Metha sendiri. Sejak saat itu, setiap kali mereka bertemu, Arman selalu melontarkan kata-kata “Andai aja lo gak segendut itu . . . ”.

“Ta, aku selalu merasa beruntung bisa memiliki sahabat sepertimu, terima kasih sudah memilihku untuk jadi sahabatmu . . . ”.

Aku kembali meneruskan langkahku. Malam kian larut dan gelap, tapi aku belum ingin kembali kepada keluargaku, aku masih ingin jalan-jalan. Jadi kubiarkan angin menuntun langkahku, menembus dinginnya malam dan redupnya cahaya bintang. Aku mendongak, mendapati bulan yang kian tertutup kelabunya awan, lalu pandanganku kembali turun ke jalan. Semilir angin berhembus menembus tubuhku, tak dapat aku rasakan, yang kudengar hanya suaranya yang berlalu lalu hilang.

Langkahku kembali terhenti di sebuah bangunan rumah modern berlantai dua di depan jembatan yang sering kulalui saat pulang sekolah. Sekali dua kali dalam sebulan aku berkunjung ke rumah ini untuk belajar kelompok. Pemilik rumah ini, Arka, teman satu SMUku. Kami memang tidak sekelas, tapi kami cukup akrab hingga akhirnya kami memutuskan untuk membentuk kelompok belajar.

Aku mengenal Arka dari Metha, dulu dia adalah tetangga Metha sebelum akhirnya pindah ke rumahnya yang sekarang. Arka adalah cowo keren yang sederhana, satu-satunya kegiatan yang diikuti Arka adalah belajar kelompok bersamaku dan Metha, dia adalah tipe cowo penyendiri.

Arka memiliki tingkat ketertarian yang tinggi pada buku, tempat favorit yang selalu dikunjunginya adalah perpustakaan. Hampir semua buku koleksi perpustakaan sekolah sudah dia baca, dia juga bersedia membantu petugas perpustakaan sekolah untuk mendata buku-buku baru atau sekedar merapikan buku-buku yang telah selesai dipinjam teman-teman.

Arka merupakan tipe cowo yang sulit untuk mengungkapkan perasaannya, dia pernah mengatakan bahwa dia menyukai seseorang di kelas kami. Tapi saat kami tantang dia agar menyatakan perasaannya dia hanya tersenyum sambil menggeleng kuat-kuat. Dan satu-satunya yang kami katakan padanya saat itu adalah kata “payah”. Aku tahu seharusnya kami membantunya untuk berani mengungkapkan perasaannya, apalagi saat aku tahu bahwa yang dia suka adalah Rahmi, ketua kelasku.

Rahmi adalah gadis keturunan jawa yang sangat sopan dan manis. Tak satu pun teman yang kukenal tidak menyukai Rahmi, maka kami pun memilihnya sebagai ketua kelas, bukan saja karena dia sangat baik namun juga karena dia sangat disiplin. Rahmi adalah gadis yang aktif di banyak kegiatan sekolah, berbanding terbalik dengan Arka.

Aku pernah bertanya padanya suatu hari saat kami berjalan bersama menuju ruang kelas, apakah dia sudah punya pacar atau cowo yang dia taksir, Rahmi tersenyum sebentar sebelum menjawab pertanyaanku, dia bilang dia tidak mau pusing memikirkan apa yang belum dia hadapi, jika saatnya tiba dia akan berhenti sebentar dan menyediakan waktu untuk berfikir dan memutuskan apa yang terbaik. Lalu kami meneruskan perjalanan, ku pikir Rahmi ada benarnya.

Ku dapati sosok Arka sedang duduk di teras rumahnya, sendirian. Aku mendekat dan duduk di sisi kanannya, bersandar pada tiang penyangga rumah, entah mengapa aku merasa hangat dan nyaman. Arka menatap lurus ke depan, tak mengeluarkan sepatah kata pun, dia juga tak merasa terganggu dengan kehadiranku. Kami diam mendengarkan nyanyian jangkrik, kami seakan berada dalam dimensi lain yang tak tersentuh waktu.

“Ka, masuk, udah malem . . . ” suara ayah Arka membuyarkan lamunan kami, pintu rumah terbuka dan sosoknya kini berdiri di depan pintu. Arka bangkit dari duduknya dengan malas dan perasaan berat.

“Ka . . . ” suaraku memanggilnya, Arka menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku, “ . .  jangan takut.” aku mengepalkan tanganku, seakan mencoba memberi semangat kepadanya. Arka tersenyum lalu masuk ke dalam.

Kesedirian membawaku kembali melangkah, namun kali ini aku tahu kemana aku akan membawa kedua kakiku ini, ke rumah Rahmi. Aku kembali mendongak, bulan di atas sana telah menyingkirkan awan kelabu yang menghalangi cahayanya. Bentuknya yang bulat kian sempurna dengan taburan bintang yang berkelap-kelip genit.

Aku memasuki pelataran rumah kayu ala panggung. Halaman rumah ini cukup luas, terdapat kursi-kursi taman dari batu, saat siang kursi-kursi ini akan dilapisi oleh bantal-bantal tipis. Di tempat inilah aku dan Metha duduk-duduk jika berkunjung ke rumah Rahmi. Arka, karena rasa malunya, tidak pernah mau menerima ajakan kami main ke rumah Rahmi. Memang dasar payah.

Aku duduk di tepi tempat tidur Rahmi, menatapnya mengamati langit dari jendela kamar selepas melaksanakan sholat tahajjud. Rahmi hanya diam, mengacuhkan aku, tak seperti biasanya.

“Mi, entah kau tahu atau tidak, entah kau sadar atau tidak bahwa selama ini ada seseorang yang memendam perasaan padamu.” aku menghentikan kata-kataku. Rahmi berbalik dan menatap ke arahku, dia bersandar di bibir jendela, menutupi cahaya yang masuk dan membuat wajahnya tak dapat kulihat.

“Jika suatu hari nanti Arka mengungkapkan perasaannya padamu, kumohon, jangan menolaknya.” lalu aku pergi meninggalkannya.

Ombak yang bergelung pecah di jari-jari kakiku, kubenamkan kakiku pada pasir yang dingin dan basah. Aku menatap laut yang memerah, fajar hampir datang dan cahaya merah terang membuat benang-benang berwarna emas meliuk-liuk di goyang laut. Langit biru terang menggeser kelabunya malam, bintang telah lama pamit meninggalkan bulan sendirian saat menyapa mentari.

“Sudah waktunya kau pulang, Nak . . . ” seorang kakek menyapaku sambil tersenyum.


Aku berdiri di belakang keluargaku yang menangis menggerung-gerung, menangisi jenazah di hadapan mereka, sedang aku sendiri tidak dapat berkata apa-apa. Keluargaku memutuskan untuk mengurus sendiri jenazah tersebut. Jenazah disholatkan di masjid dekat rumah, aku berdiri di pelataran masjid saat mereka menyolatkannya. Seorang gadis kecil mendongak saat menatapku, aku menyunggingkan senyum terbaikku kepadanya, dia membalas senyumku dan memamerkan gigi-giginya yang ompong.

Beberapa motor mendahului mobil ambulance diikuti beberapa mobil berpenumpang pengantar jenazah. Kami menuju TPU tak jauh dari rumah, jalan raya terasa lenggang dan kosong, seakan memberi ruang untuk kami lewat.

Arka, Rahmi, Metha dan beberapa teman sekelas serta guru-guruku berdiri tak jauh dariku, aku merasakan kesedihan yang mereka rasakan. Rahmi dan Metha bahkan saling berpelukan sambil menangis, sedang Arka merangkul bahu Metha. Tante memeluk ibuku yang tak kuasa menopang tubuhnya sendiri, terlalu rapuh untuk menerima kenyataan, matanya basah dan bengkak, bibirnya bergetar menyebut-nyebut sebuah nama.
Pak Haji memimpin doa, khusyuk dan damai. Aku menatap satu per satu wajah-wajah sedih di pemakaman ini, aku pasti akan merindukan mereka, aku hanya berharap dapat kembali bersama. Suati saat nanti, kuharap.

“Bu, waktunya kita pulang . . . ” suara serak ayah di sela-sela tangisnya berusaha membujuk ibu untuk meninggalkan makam.

Satu persatu pengantar jenazah telah pulang, kembali ke rumah, meninggalkan aku sendirian di sini, di pemakaman ini. Di hadapanku sebuah kuburan baru yang masih basah dan merah, dengan papan nisan yang menghadap kepadaku.

Di makam ini terbaring, Rona Asmowidjoyo, lahir Jakarta 1 Januari 1995, wafat 01 September 2010.

Itu . . .  Aku . . .

Jakarta, 04 September 2010.

2 komentar:

  1. Wah, Endah hebat bisa nulis cerpen. Satu pun saya belum bisa. Bravo! Saya menikmatinya.

    BalasHapus
  2. jadi inget dulu sering nulis buat mading sekolah, heheheh...
    terima kasih, saya akan berusaha lebih keras!

    BalasHapus