Ada sebuah cerita menarik tentang perbedaan antara uang seribu dan seratus ribu. Saya dapat cerita ini pun dari sebuah tautan di facebook teman, so saya hanya ingin berbagi saja. Begini ceritanya:
Konon, uang seribu dan seratus ribu memiliki asal-usul yang sama tapi mengalami nasib yang berbeda. Keduanya sama-sama dicetak dengan bahan dan alat-alat yang oke.
Pertama kali keluar, uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum dan menarik. Namun tiga bulan setelah keluar, uang seribu dan seratus ribu bertemu kembali di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.
Uang seratus ribu berkata pada uang seribu, ”Ya, ampuunnnn. Darimana saja kamu, kawan? Baru tiga bulan kita berpisah, kok kamu sudah lusuh banget? Kumal, kotor, lecet dan bau! Padahal waktu kita sama-sama keluar, kita sama-sama keren kan. Ada apa denganmu?”
Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren dengan perasaan nelangsa. Sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata, “Ya, beginilah nasibku , kawan. Sejak kita keluar, hanya tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet tukang sayur yang kumal. Dari dompet tukang sayur, saya beralih ke kantong plastik tukang ayam.
Plastiknya basah, penuh dengan darah dan kotoran ayam. Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen. Dari pengamen sebentar aku nyaman di laci tukang warteg. Dari laci tukang warteg saya berpindah ke kantong tukang nasi uduk. Begitulah perjalananku dari hari ke hari. Itu kenapa saya bau, kumal, lusuh, karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, diremas-remas.”
Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin, “Wah, sedih sekali perjalananmu, kawan! Berbeda sekali dengan pengalamanku. Kalau aku ya, sejak kita keluar, aku disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Hmmm, dompetnya harum sekali.
Setelah dari sana , aku lalu berpindah-pindah, kadang-kadang aku ada di hotel berbintang lima, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat arisan Ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus. Jarang deh aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Dan aku jarang lho ketemu sama teman-temanmu. “
Uang seribu terdiam sejenak. Dia menarik nafas lega, katanya, “Ya. Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman. Tapi ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga daripada kamu!”
“Apa itu?” uang seratus ribu penasaran.
“Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di mesjid atau di tempat-tempat ibadah lain. Hampir setiap minggu aku mampir di tempat-tempat itu. Jarang banget tuh aku melihat kamu dan teman-temanmu disana”.
Dari cerita di atas, saya jadi ingat dengan kebiasaan saya sendiri yang mungkin juga banyak dialami oleh Anda sekalian. Betapa seringnya saat kita bersedekah, mengeluarkan harta yang kita bawa untuk orang lain yang tak punya baik di jalan atau yang mengetuk pintu-pintu rumah, hanya uang terkecil dari kantung kita lah yang kita sedekahkan. Baik itu seribu, dua ribu bahkan lima ratus rupiah. Betapa sayangnya kita pada uang kertas berwarna merah yang mempunyai lima angka nol di belakang angka satu itu.
Semoga setelah ini kita menjadi manusia-manusia yang lebih ikhlas, karena Allah pun tidak pernah pelit untuk memberikan rezekinya pada kita, amiiiinnnnn......
Saya masih ingat betapa manis balasan yang Allah berikan saat keikhlasan itu datang, beberapa waktu yang lalu saat saya berada di puskesmas, saya membutuhkan uang uang seribu rupiah untuk melunasi biaya berobat. Sebenarnya saya punya uang lebih lima ribu rupiah, tapi petugas loket puskesmas berkata tidak ada kembaliannya. Jadilah saya berseliweran kesana-kesini mencari tukaran uang.
Saya sempat putus asa karena banyak diantara pasien puskesmas tidak punya uang kecil. Saya lalu menghampiri sepasang suami istri yang duduk mengantri di pojok ruang tunggu, mereka tampak sangat sederhana. Pakaian mereka lusuh, wajah mereka tampak sendu dan ramah. Saya menyodorkan uang lima ribuah seraya bertanya apakah mereka punya uang kecil. Suami istri itu mengangguk, mengatakan mereka punya uang kecil, si ibu menyerahkan uang seribu rupiah pada saya, saya sempat terkejut karena si ibu hanya memberikan uang seribu rupiah lalu si bapak berkata sambil tersenyum "Sudah, ambil saja. Uang kamu di simpan saja."
Saya sempat menolak sambil menyerahkan uang lima ribuan saya, tapi suami istri itu menolak. Dengan berat hati saya menerima uang seribu pemberian mereka, membayarkan uang itu pada loket lalu berjalan pulang. Di perjalanan pulang, saya tidak berhenti memikirkan kebaikan hati suami istri yang bahkan tidak mengenal saya, dengan ikhlas mereka memberi uang yang belum tentu mereka tidak butuhkan. Saya sampai menitikan air mata karena haru. Ternyata masih ada orang baik dan tulus di Jakarta ini.
Lalu siang harinya, saat saya pergi ke rumah kakak Saya di Depok, dalam perjalanan pulang, seorang pengamen naik ke angkutan yang saya tumpangi. Saya keluarkan uang seribu rupiah dari kantung saya dan memberikannya pada pengamen itu. Sungguh Allah Maha Besar, sesampainya di rumah, saya mendapati berbagai makanan kesukaan saya terhidang di atas meja makan, saya yang saat itu sedang berpuasa sunnah sungguh sangat mensyukurinya. Saya sempat bingung dari mana ibu saya dapat uang untuk membeli makanan-makanan itu karena saat pagi ibu saya sempat bilang bahwa tidak akan ada makan untuk buka puasa sunnah saya, tapi saya tidak keberatan untuk membatalkan puasa saya dengan air putih saja.
Ternyata makanan-makanan itu diantarkan oleh beberapa orang tetangga saya. Hanya karena menyedekahkan uang seribu rupiah, inilah balasan yang Allah berikan. Sungguh Allah Maha Pemurah.
Selasa, 11 Januari 2011
Perbedaan Antara Uang Seribu dan Seratus Ribu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar